WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #7

Banyu Suci Perwitasari

Ibu bilang ia melihat dirinya di dalam lukisan di pringgitan, dipajang di dinding, diapit tokoh pandawa lima dalam wujud wayang kulit raksasa. Aroma garam krom yang samar bercampur dengan sapuan cat minyak melekat pada wayang-wayang yang baru saja terlahir itu. Ibu digendong nenek yang duduk di ujung barisan, sementara kakek berdiri di belakangnya, meletakkan kedua tangan di bahu nenek. Ada sembilan perempuan di barisan depan, enam di antaranya duduk bersisian dengan balita mereka. Tiga belas lelaki berdiri di belakang, termasuk tiga orang sesepuh atau tiga bersaudara mantan prajurit Heiho yang tersisa yang duduk di kursi tinggi di tengah-tengah. Perempuan-perempuan itu mengenakan kebaya merah garnet serupa biji delima. Bagian bawah tubuh mereka dibalut kain batik truntum yang diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana sebagai ungkapan rindunya kepada Sri Sunan Pakubuwono III, suaminya. Para lelaki mengenakan beskap hitam yang ujung kerahnya bersulam emas. Beskap itu adalah beledu sutera yang ditenun seorang perajin di sanggar seni di Solo. 

Saat itu tidak ada satu pun dari anggota keluarga besar Dharma Gumilar yang tersenyum, ibu yakin. Ia membanggakan ingatan masa kanak-kanaknya yang jernih yang katanya berkat keuletannya menelan biji-biji mahoni. Di dalam lukisan itu, mereka tampak sebagai pemarah yang sedang lelah. Bibir mereka menguncup. Tatapan mereka tidak ramah. Ibu bilang, itu karena salah satu dari mereka mendatangkan seorang pelukis berdarah Belanda yang memilih menetap di Indonesia setelah masa perang berakhir. Usianya nyaris delapan puluh. Namanya bersanding dengan nama-nama besar pelukis di masa itu. Ia telah menciptakan banyak mahakarya. Lukisan potret keluarga Dharma Gumilar adalah salah satunya. Biayanya mencapai harga setengah hektare tanah di masa itu. Ide mengundang pelukis ternama datang dari sepupu lelaki kakek, anak pertama dari saudara nomor dua. Ia mewarisi gen pemberang milik ayahnya.

Kakek memiliki enam sepupu laki-laki yang telah menikah, dua sepupu lelaki bujang, dan dua sepupu perempuan perawan. 

Keenam sepupu lelaki yang telah menikah–dulunya adalah mereka yang begitu bersemangat membual setiap kali kakek bermaksud untuk mencari pasangan. Pergunjingan tidak menyenangkan menimpa kakek dan menjauhkannya dari calon-calon pengantinnya. Namun, berkat ketabahannya, di usia empat belas, ia lalu bertemu nenek yang melengkapinya. Nenek dan orang tuanya tidak menggubris desas-desus tentang kemandulan kakek dan keburukan sikapnya. Ia merupakan perempuan yang teguh dan tekun–anak seorang juru makam desa yang disegani tidak hanya manusia, tetapi juga para lelembut. Menikah dengan anak keturunan si bungsu dari keluarga Dharma Gumilar, bagi mereka, merupakan keberkahan. 

Wajah-wajah tegang dalam lukisan itu adalah bukti yang terekam bahwa mereka nyaris saling menghancurkan. Sepupu itu menguangkan tanah milik kakek untuk membayar lukisan dan segala printilan acara. Tanah itu dipercayakan kepadanya selama bertahun-tahun. Ia menjualnya ke pekebun kelapa, salah satu pesaing bisnis kakek. Kakek mengetahui, jauh hari, setelah tanahnya berganti nama dan uang itu nyaris habis. Saat itu bertepatan dengan kedatangan grup perias di Joglo Sinom sehari sebelum prosesi pelukisan. Begitu juga rombongan pagelaran wayang Blimbingsari yang saat itu sedang ramai dibicarakan karena keapikan dalangnya. Mereka diundang merayakan hari ketika keluarga besar Dharma Gumilar menyatu dalam sebuah lukisan. 

Ini adalah perayaan kebersamaan sebelum salah satu dari ketiga bapak kita meninggal dan saudara dengan bagian harta terbanyak sudah sepatutnya menjadi donatur yang dibanggakan. Begitu kata sepupu kakek sebelum sebuah tinju mendarat di pipi kirinya. Sepupu itu menikahi calon mempelai kakek yang nomor dua. Perempuan itu larut dalam bujuk rayu sehingga bersedia menjadi rumah bagi keturunan si lelaki. Namun, janin-janin terus melarikan diri dari rahimnya hingga usia perkawinan mereka mencapai tahun kesepuluh.

Kakek menambahkan satu tinju lagi di pipi kanan. Ia ingin menambahkan banyak tinju–untuk kepicikan sang sepupu di masa lalu yang mendadak ia ingat dengan runut–tetapi tiba-tiba nenek menghampirinya, tergugu. Bayinya menghilang ketika ia terbangun dari tidur. Jadilah seisi rumah, melibatkan juga para perias, dan beberapa orang dari rombongan wayang bahu membahu mencari keberadaan ibu sewaktu bayi. Ibu baru saja belajar berjalan. Usianya tiga belas bulan. 

Kakekku sibuk menenangkan istrinya dan amuk yang berkecamuk dalam diri sementara pencarian terus dilakukan. Orang-orang menyisir pekarangan, menyibak semak kembang menur, mendongak kepada dahan-dahan cempaka. Bahkan beberapa orang pergi sangat jauh menyusuri tepi sungai dan kebun. Menjelang magrib, ibu tetap belum ditemukan. Tangisan nenek meluap seperti banjir kiriman pada musim hujan. Kakek berusaha terlihat tabah, tetapi ia merasa tidak bisa membendung diri lebih lama lagi. Ia ingin memaki, mengutuk, meludah. Namun, rumah yang ramai oleh wajah-wajah asing yang tampak prihatin menahan segala ingin kakek. Lalu, kepada nenek, ia berpamitan untuk mandi. Ia hendak menutupi tangisnya dalam guyuran air yang deras.

Ibuku adalah bayi yang ditunggu-tunggu setelah dua kehamilan sebelumnya yang ranggas. Sebuah peristiwa bernoda ketika kakek pernah ingin mengusir bayinya dari rahim sang istri yang tidak pernah benar-benar pupus dalam ingatannya, kembali menyeruak, membuatnya merasa semakin tertekan. Kesengsaraan akibat kehilangan bayi tidak dapat ditangguhkan dengan kekayaan macam apa pun. Ia bersumpah seandainya sang anak ditemukan selamat, ia akan senang hati merelakan satu setengah hektare tanah itu. Sumpah itu diucapkan oleh bibirnya yang gemetar sebanyak sembilan puluh sembilan kali. 

Kemudian, kakek yang saat itu berada di dalam kamar, tiba-tiba dikejutkan oleh suara ribut dari dalam kamar mandi. Kakek tergopoh masuk. Ia melihat anaknya duduk di dalam gentong air yang miring. Penutup lubang yang terletak di dasar telah tercabut sehingga gentong dari kayu jati itu menyisakan sedikit genangan air dalam posisinya yang telentang. Ibu setengah basah. Ia memainkan genangan itu. Ia tertawa kecil ketika melihat sosok ayahnya di ambang pintu dalam temaram pencahayaan magrib. Ucapan yang keluar dari mulut sang bayi adalah ba ba ba ba.

 Kakek bahagia tetapi ia lalu merutuki diri yang mengucapkan sumpah secara membabi buta. Sungguh ia sebenarnya tidak rela. Jika saja, ia pergi ke kamar mandi terlebih dahulu sebelum sumpah itu keluar dari diri yang kacau. Jika saja.

Ia kemudian menyidak satu per satu penghuni Joglo Sinom di pringgitan, sebuah ruang terbuka di tengah-tengah bangunan rumah yang nantinya menjadi latar lukisan mereka dan tempat bagi dalang mementaskan lakon wayang Banyu Suci Perwitasari. Kisah itu tentang Bimasena yang memimpikan ayah dan ibunya yang masih tertahan di gerbang surga. Lalu sang guru, Resi Durna, menyuruhnya mencari Kayu Gung Susuhing Angin di hutan penuh marabahaya, Candramuka, dan menyelam ke dasar lautan, menemukan sumber mata air demi menolong orang tuanya. Ia dihadang raksasa namun ia mengalahkannya. Lalu ia bertemu Dewa Ruci yang memberinya petuah hidup dan sebuah pusaka yang tengah ia cari bernama Banyu Suci Perwitasari. Bima menjadi lebih bijak setelah menerima pusakanya. Perubahan sikap itu kemudian menjadi pembuka kunci gerbang surga bagi orang tuanya.

Lihat selengkapnya