Aku berteman dengan sumur di rumahku sejak kali pertama aku memberinya kutang warisan ibu di usia sepuluh. Dia menampung keluh kesahku dan aku yakin ia tak akan mengumbarnya kepada siapa-siapa. Bibir sumur tidak mengeluarkan suara seperti bibir manusia.
Aku kesulitan menjalin kedekatan dengan teman-teman sekolah setelah wajah Nalin hinggap di mana-mana di rumahku. Setiap kali berada di samping mereka, aku merasa terasing dan terancam. Di dalam kelas bersama mereka selama jam pelajaran berlangsung adalah uji coba siksa neraka bagiku. Bagaimanapun, aku adalah wewe gombel pemilik kutang di rumpun bambu. Aku selalu bertanya-tanya, sampai kapan Nalin mampu menutup mulutnya.
Aku selalu melarikan diri ke perpustakaan, menghabiskan jam istirahat di dalam ruangan yang tampak hidup dan bergairah hanya ketika kenaikan kelas. Pada saat itu para murid akan keluar dan masuk, meminjam dan mengembalikan buku. Perpustakaan itu bahkan tidak memiliki seorang petugas yang tekun. Guru penjaganya lebih senang berada di kantor, bercakap-cakap dengan guru lainnya. Ruang lengang dengan tumpukan buku berdebu itu--aku sangat menyukai mereka.
Ada satu buku yang kubaca berulang-ulang karena aku merasakan kepahitan kedua tokoh di dalam buku itu yang merebus daun pepaya hampir setiap hari. Bedanya, ia menyandingkan daun pepaya dengan sambal terasi, sementara ibuku memilih sambal kacang dan ibuku melakukannya bukan karena tidak memiliki uang sama sekali, melainkan ia ingin uangnya tidak pergi ke mana-mana, tetap menjadi alasnya tidur yang menenangkan.
Dulu sumur itu tingginya sedaguku. Aku sedikit berjinjit untuk melihat kegelapan yang samar di dalamnya. Permukaan luar dindingnya disemen kasar, sementara permukaan dalam dibiarkan tanpa polesan, mempertontonkan tumpukan batu bata yang ditumbuhi pakis dan lumut hati. Di atas sumur ada katrol timba yang dipasang pada tiang kayu kelapa. Laba-laba merajut rumahnya di antara katrol dan timba hitam yang telah pudar menjadi abu-abu berbintik dan tepinya retak oleh tarikan dan beban selama bertahun-tahun. Timba itu sudah jarang terpakai kecuali saat-saat mati listrik hingga berjam-jam.
Kami memakai pompa air elektrik. Sakelarnya di dekat pintu dapur. Ketika akan mandi, kami mesti menekan benda itu lalu berjalan keluar menuju kamar mandi yang bersisian dengan sumur. Kemudian mesin pompa akan menggerung seperti nyanyian tonggeret di musim kawin--jarak beberapa detik, air mengucur dengan tekanan tinggi, menciptakan buih-buih putih di dalam gentong. Buih-buih itu naik ke permukaan air dan pecah begitu saja, lalu muncul lagi, pecah lagi, ada lagi. Kadangkala aku begitu hanyut dalam pesona buih-buih itu hingga membuat ibu melongokkan kepala dari atas dinding kamar mandi demi mengatakan betapa aku termasuk ke dalam golongan orang yang merugi karena air yang tumpah bak air bah.
Apa yang seharusnya kami lakukan setelah gentong-gentong terisi penuh adalah menyingkap kelambu karung kamar mandi yang selalu setengah basah sepanjang keberadaannya di gantungan kayu yang lapuk berjamur. Lalu kami akan berteriak kepada siapa saja orang yang sedang berada di dapur, tolong matikan. Lalu parade senggaret kawin seketika hilang, meninggalkan bunyi jebar-jebur yang nyaring dan aroma sabun buah-buahan dari aliran air yang mengalir ke comberan. Sebenarnya apa yang selalu aku sebut sebagai comberan adalah galian tidak lebih dari dua puluh senti yang melebar yang lebih mirip kubangan di jalan-jalan raya di musim hujan. Air comberan itu akan menyusut saat siang yang terik dan kembali menggenang ketika kesibukan sore di dapur dan kamar mandi tiba.
Kata ibu, sumur itu dalamnya sebelas meter. Leluhur kami--semoga mereka mendapat tempat indah di surga–bergotong-royong menggalinya sewaktu muda. Mereka bersuka cita sembari mengenang kegagahan sewaktu menjadi pasukan Heiho, bersahut-sahutan menyanyikan hymne prajurit yang mereka ulang-ulang hingga serak. Sumur itu adalah satu-satunya yang tersisa dari Joglo Sinom--yang api tak membakarnya.
Aku rajin menyambangi sumur itu dengan perasaan bersalah yang tak bertanggung jawab. Sebab terkadang aku berpikir sumur itu tak ubahnya lubang yang kupaksa menelan benda yang tak kuinginkan--atau apakah memang sudah seharusnya begitu tugas teman itu. Dalam keremangan lubang itu, jauh di dasar, samar aku melihat benda-benda memanjang yang tenggelam. Aku yakin mereka adalah para kutang warisan. Ibuku tidak pernah mencurigaiku. Ia adalah salah satu orang yang tak memiliki keberanian untuk melongok terus-menerus ke dalam sumur. Meskipun ia pernah sangat dekat dengan sumur sebelum mesin pompa air menyusup ke desa-desa dan setiap warga berlomba-lomba memilikinya.
Tuhan Maha Baik selalu menggariskan keberuntunganku yang mana ketika ibu sedang menyidak, aku selalu dalam keadaan memakai kutangnya yang tersisa sebagai bentuk kepatuhan dan ibu mempercayaiku. Aku akan melepasnya ketika ibu pergi. Lalu aku memakai satu dari empat kutang yang dibelikan bapak di pasar kaget di samping balai desa setelah ia menebak dengan akurat bahwa wewe gombel yang dimaksud teman-teman adalah aku, anaknya. Pasar itu muncul setiap Kamis.
Aku mengajak sumur itu bercakap-cakap dengan suara pelan. Melongok ke dalam remangnya adalah sebentuk kecemasan purba yang ingin terus kuulang. Aku betah menghidu spora tumbuhan paku berlama-lama dengan posisi badan condong ke dinding sumur yang dingin dan lembab. Aroma serbuk itu mengingatkanku pada jamur-jamur liar yang merekah di musim hujan. Kepada sumur itu, aku bertanya apakah ia menyukai kutang-kutang pemberianku. Apakah ia menyukai sikat gigiku yang gundul yang kusuapkan ke bibirnya supaya ibu membelikanku yang baru. Apakah ia menyukai bajuku yang telah sesak yang kupakaikan padanya supaya aku dibelikan baru. Meskipun ibu malah mewariskan baju-baju masa remajanya padaku yang pada akhirnya kuteruskan juga pada sumur itu. Karena aku yakin kerentaan kain itu akan membuat orang menertawakanku saat aku memakainya. Jika sumur itu tidak suka, aku menyesal karena aku pun tidak menyukai mereka. Akan tetapi sumur itu diam. Aku menganggapnya sebagai bentuk persetujuan dan kelegaan.
Sebenarnya ibu heran mengapa aku semakin sering kehilangan barang. Ia juga menyayangkan uangnya yang seharusnya diam di tempat, tetapi malah berpindah ke pedagang pasar. Namun, aku adalah bagian dari sebuah lingkungan yang kanak-kanaknya dibesarkan oleh cerita jagad lelembut dan hiburannya adalah kuda lumping kerasukan yang menginjak dan makan beling di balai desa. Jadi aku mengikuti arusnya dan memanfaatkannya dengan baik dan kukatakan kepada ibu bahwa jin telah menyembunyikannya. Kelak, saat sudah bosan, ia pasti akan mengembalikannya. Lalu ibuku menyahut ya, semoga secepatnya.
Seiring dengan tinggi badanku yang jauh melesat dan memudahkanku melongok ke dalamnya, timbul dorongan untuk terus menerus berbagi dengan sumur itu seakan-akan aku mendengarnya berbisik, beri aku lagi, Inas. Beri aku lebih banyak. Tentu saja dengan senang hati kuiyakan.
Kadangkala, kuberi ia gelas dan piring yang tak sengaja aku pecahkan, supaya aku tidak perlu lagi was-was akan ketahuan lalu dihujani amarah ibu. Lagi pula, ibu memiliki banyak pecahan piring yang ia simpan di bawah para-para dapur, bersisian dengan dua mejikjer yang sudah tidak berfungsi, dan ember-ember pecah yang terus bertambah jumlahnya dari hari ke hari.
Aku juga menangis dan membagi air mataku kepada sumur itu. Saat aku berpikir aku telah akan terbebas dengan Nalin ketika perpisahan di sekolah dasar, ternyata aku kembali bertemu ia yang membawa berkas pendaftaran ke sekolah menengah yang sama denganku. Kami duduk berhadapan di teras kantor tata usaha. Senyumnya tidak berubah sama sekali. Itu takdir yang buruk, gerutuku pada sumur tuaku, sebab ternyata kami kembali sekelas.
Lalu, selang enam bulan, kegembiraan yang tak kusangka-sangka datang: Nalin pindah sekolah, mengikuti ayahnya, seorang TNI yang ditugaskan ke Irian. Saat berpamitan di kelas, Nalin tidak mengatakan apa pun tentang masa lalu kami. Ia bahkan tidak merasa perlu berpamitan secara pribadi denganku, teman kelasnya saat sekolah dasar.
Ia menjaga mulutnya dengan baik. Aku agak menyesal mencurigainya berlebihan dan menyia-nyiakan waktu tenggelam dalam kecemasan yang tak terbukti sepanjang tahun-tahun dulu. Tidak semua orang tidak bisa dipercaya. Nalin membuktikannya. Manusia bukan makhluk yang buruk-buruk amat.
Aku benar-benar lega lalu kubagi pula kegembiraan itu kepada sumurku tersayang. Selamat tinggal wewe gombel dan kutangnya. Era kegelapan yang berangsur tenggelam--selamat tinggal.