WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #9

Museum Kenangan

Sesuatu telah salah, aku mengetahuinya, pada tahun keduaku di sekolah menengah. Saat itu aku menjadi tuan rumah kelompok pengerjaan cangkir batok kelapa, pelajaran seni budaya, karena banyaknya rupa pohon kelapa yang ditanam leluhurku. Kepercayaan diriku agaknya mulai tumbuh dibuktikan dengan aku yang mulai mampu membuka diri kepada teman-teman, tersenyum dan bercakap-cakap dengan mereka untuk beberapa hal. 

Sebagai tuan rumah yang budiman, aku ingin tamuku terkesan. Aku memutuskan memulainya dengan membuat rumahku tampak sedikit menawan. Waktuku tinggal dua hari. Akan tetapi, setelah aku memeriksa setiap sekat dan ruang, aku justru terduduk lemas sembari bertumpu pada gagang sapu yang kupegang. Rumahku dihuni begitu banyak benda mati yang tidak berperan apa-apa. Memperhatikan mereka berdesakan di mana-mana telah sanggup membuatku letih sebelum berkeringat. Sepertinya aku telah tinggal di dalam museum ibu yang tidak terawat. Barangkali aku terlalu sibuk dengan wajah Nalin, dulu, yang kuramalkan sebagai bom waktu. Mataku berkabut oleh kecemasan sehingga aku tidak mampu melihat dengan jernih rumah yang aku tinggali begitu sesak oleh benda usang, puing-puing berserak, dan reruntuhan seumpama hari setelah ledakan. Pada akhirnya kabut itu memudar ketika ancaman yang kurasakan terbang ke Irian Jaya, tetapi kepergian kabut itu juga sekaligus menyingkap tentang keadaanku secara terang.

Di ruang depan, berhadapan langsung dengan pintu keluar utama, ada bufet besar berpintu kaca buram, tempat ibu melesakkan panci-panci tua yang telah ditambal berulang kali, bersanding dengan panci-panci baru yang terpenjara dan hanya bebas keluar ketika lebaran atau hari-hari besar. Di tengah bufet ada meja sambungan yang dihuni botol losion, parfum, minuman kemasan, lipstik, dan deodoran. Botol-botol itu berdiri, sebagian tergeletak, sebagian kosong, dan sebagian berisi tetapi aku yakin mereka telah kedaluarsa. Aroma tengik menguar sadis saat kuputar beberapa tutup botol, mencoba mengintip isinya. Mereka adalah botol-botol bekas yang telah aku lemparkan ke tempat sampah. Ibu memungut semua, aku tidak yakin kapan persisnya, ia memperlakukan mereka sebagai pajangan menawan di ruang depan, menghadap satu set kursi rotan dan kristik sulam bergambar perempuan menggendong kendi berisi padi. Kendi itu miring, menumpahkan sebagian isi. Dewi Sri, nama perempuan itu, kata ibu. Ia anggun dan bermahkota. Ia adalah simbol kesuburan dan keberlimpahan. Dalam legenda, ia adalah perempuan yang jasadnya berkecambah menjadi beragam jenis tumbuhan.

Aku memiliki tiga televisi yang berjajar di meja ruang tengah, tetapi hanya satu yang segan untuk mati, patuh menampilkan gambar bergerak dan bersuara selama bertahun-tahun. Dia adalah televisi cembung dengan layar 21 inci. Dua di antaranya adalah televisi layar hitam putih yang telah konslet tersambar petir, yang pertama, tersambar ketika aku belum lahir, dan yang kedua, tersambar ketika aku berusia tiga tahun dan belum menyadari apa-apa. Saat itu hujan badai dan orang tuaku lupa mencabut sambungan kabel boster dan antena.

Televisi bungsu di letakkan di tengah diapit para pendahulu mereka yang telah gugur. Ia mendapatkan sarung rajut merah muda yang melindunginya dari debu sebagai bukti ia diistimewakan. Setiap saat aku duduk dan menyalakannya, layar kedua pendahulu akan memantulkan siluet dariku yang sedang bersandar di dinding beralas kasur lipat biru dengan dua bantal hijau tua, ada juga sebuah meja kecil dengan toples besar dan teko air, dan dua daun jendela berteralis di atas kepalaku yang kacanya juga memantulkan warna-warna bergerak dan menyala dari televisi istimewa. Ketika acara yang kugemari dijeda iklan, aku akan berlamat-lamat menonton bayangan diri pada dua layar televisi mati.

Di bawah meja televisi, tiga kardus yang dulu membungkus mereka di toko elektronik berjajar bersisian menjadi rumah bagi tas-tasku semasa TK dan SD dan tas bepergian ibu yang aku yakin penjahit paling tekun sekalipun akan menyerah ketika melihat kerusakan pada resleting dan badan. Tas-tas itu dibungkus kantong plastik merah yang robek-robek dan kusam dipeluk debu tahunan. Ibu bilang akan menyulapnya seperti baru seakan ia adalah penyihir luar biasa dalam dongeng. Ia mengucapkan kalimat itu sejak aku lulus TK sembari meletakkan tas itu di dalam kresek, memintaku menjauhkan tanganku. Semula ibu memaksaku memakainya di hari pertama SD. Namun, bapak menyelamatkanku dengan membawa tas hitam bersablon pahlawan super Saras 008 yang kuhapal betul lagu pengiring sinetronnya. Tas itu mengkilap dengan aroma plastik menyengat pertanda ia baru saja diturunkan dari pajangan pasar. Ibu memarahi bapak, mengatainya tidak mampu mengajarkan nilai-nilai hidup yang agung kepadaku. Namun, sebagaimana biasa, ibu selalu sia-sia karena bapak tak pernah mengembalikan caciannya. Aku--lagi-lagi selamat.

Di kamar ibu, kukira keadaannya jauh lebih buruk sejak kali pertama ibu mewariskan kutang-kutangnya padaku. Ada kotak kardus di setiap sudut, di bawah kolong, dan di atas lemari. Celah kardus-kardus itu ditutup lakban hitam. Di atas lemari, mereka berjejer hingga tiga tingkat dengan alas berupa lembaran kalender tahun-tahun silam. Lembaran kertas itu mencegah pantat kardus bersentuhan langsung dengan kayu lemari. Di atas dipan, pakaian bertumpuk serupa perbukitan. Ada satu sisi yang dibiarkan kosong–kukira–di sana ibu biasa berbaring. Tidak ada cukup tempat untuk dua orang. Bapak mengalah. Ia lebih memilih tidur di ruang tengah karena ibu menyukai tidur bersebelahan dengan bukit pakaian.

Lihat selengkapnya