WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #10

Api yang Memakan Kegembiraan

Ia enam tahun saat mengeruk kuburan capung dengan pecahan genting, pagi setelah api melahap Joglo Sinom. Capung itu merah gelap. Ibu memergokinya sekarat, tersangkut di jari-jari kayu roda pedati yang parkir di samping air mancur di pekarangan. Binatang itu mati sesaat setelah ibu memindahkannya ke telapak tangan. Merasa iba, ibu kemudian menguburkannya di sisi rumpun kembang menur yang paling rimbun. Ia membekali capung itu dengan dua koin perak seratus rupiah. Untuk merayu malaikat supaya kau lolos ke surga, katanya. Selang sepekan, lalu kebakaran.

Api membumbung tinggi seakan menantang langit. Joglo Sinom bergemeretak seperti arang di dalam tungku yang selalu ia lihat saat seorang abdi menanak nasi ketika pagi. Orang berduyun-duyun menyiramkan air. Api membesar–meliuk, menjilat, menyambar. Asap menyamarkan penglihatan, tebal bergulung-gulung. Beberapa orang terpeleset oleh tumpahan air dari dalam ember di tangan yang terayun dan tergesa. Tiang-tiang berjatuhan. Api memercik di udara seperti ribuan kunang-kunang yang menari di langit malam. Dua ekor kuda meringkik sembari berupaya mendobrak pintu kandang. Setelah berhasil, mereka berlari melompati rumpun menur, terus ke utara menyusuri jalan setapak di bantaran sungai, menuju hutan, dan lalu tak pernah terlihat lagi.

Di bawah naungan dahan cempaka, sepupu perempuan dan para ipar berebut menggendong ibu dan menjadi topangan tubuh nenek yang pingsan setelah banyak menangis. Para sepupu laki-laki mencengkeram lengan, pundak, dan kehendak kakek yang ingin menerobos api. Di dalam sana, mantan prajurit Heiho, si bungsu yang telah menua, berbaring di atas dipannya, enggan menurut saat akan digendong ke luar saat api belum terlalu garang. Si mantan prajurit mengatakan, ia sudah cukup merasakan kegembiraan dan kesedihan dan abunya akan menyatu dengan abu kayu-kayu di rumah itu.

Raungan kakek menyayat malam tatkala empat tiang utama yang digerogoti api roboh bersamaan. 

Itu adalah malam ketiga pesta pernikahan salah satu sepupu lelaki–anak bungsu mantan prajurit Heiho nomor dua. Kemeriahannya dimaksudkan berlangsung selama sepekan. Kakek, nenek, dan ibu yang saat itu duduk di kelas satu sekolah dasar telah lima hari menginap di rumah pesta. Kakek, sebagai seorang sabet, mengepalai para peladen yang menyajikan makanan bagi tamu dan perewang yang membantu di dapur. Nenek–orang-orang mengandalkannya sebagai peronce bunga pengantin dan peracik persembahan untuk leluhur. Mereka meninggalkan Joglo Sinom tanpa prasangka dengan tiga abdi yang bertugas menjaga si bungsu yang renta dan anak lelakinya yang berusia empat puluh dua yang berperilaku seumpama balita. 

“Maaf, Mas Bagus. Saya gagal membujuk Eyang. Beliau mengunci kamar.” Seorang abdi dengan raut muka memikul beban penyesalan, bersimpuh, menciumi jari kaki kakek, membasuhnya dengan air mata. Ia bilang, mereka semua sedang tidur ketika api menyusup dan menghanguskan sebagian rumah. Asalnya dari kamar saudara kakek yang berperilaku kanak-kanak. Lelaki itu telah berada di pekarangan, bermain air mancur ketika para abdi tergopoh-gopoh mencari bantuan. 

Lihat selengkapnya