WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #11

Air Mata untuk Ibu, Termos Biru, atau Aku (?)

Rumah itu kembali seperti sediakala, lebih buruk dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, bahkan sebelum kawan-kawanku datang. Setiap saat berjalan, dapat kubayangkan, rasa-rasanya, kakiku akan terantuk kardus yang bertebaran di lantai atau terjerat tali rafia dan untaian kabel rusak dan benang nilon yang dikumpulkan ibu dari layangan putus yang tersangkut di pucuk-pucuk padi, atau tergelincir oleh rembesan minyak goreng dari kemasannya yang diletakkan ibu di kardus di samping pintu kamar.

“Jangan kau berani sentuh lagi,” seru ibu sambil mondar-mandir mengambil benda-benda yang tersisa di pekarangan belakang. Ia memenuhi (lagi) kolong kursi dan meja dengan tumpukan kardus, kantong-kantong kresek buram, dan segala sesuatu hingga kolong-kolong itu tampak sebagai sebuah gudang terlantar.

“Benda-benda itu menghalangi jalan. Bagaimana mungkin kakiku tidak menyentuh mereka?”

“Gunakan matamu juga saat berjalan, Inas.”

Ibu membopong satu kantong plastik botol losion, parfum, kemasan minuman, mika jajanan pasar, tiga parut gundul dan berkarat, juga tiga botol termos yang kaca di dalamnya telah retak. 

“Mau dibawa ke mana semua itu, Bu?”

Ibu tidak menjawab. Ia memintaku menyingkir dari ambang pintu hanya dengan sebuah tatapan dan gerakan kepala. Saat ia lewat, aku bisa mencium apak rambutnya yang tak pernah luput dari olesan minyak kelapa yang kemudian terpanggang matahari sepanjang hari.

“Bu, kita tidak memerlukan lagi benda-benda ini.”

“Perlu!”

“Untuk apa? Demi Tuhan.”

“Kita akan membutuhkan semua ini nanti, Inas. Saat kamu menikah, bungkus minyak goreng ini bisa dipakai menghidupkan api. Tas-tas ini bisa untuk tempat gula dan mi dari tamu yang–”

“Bu…”

“Kalau benda-benda sekecil ini kau lempar ke tempat sampah begitu saja, lalu bagaimana dengan sesuatu yang lebih besar? Tanah? Kebun? Sawah? Kau akan habiskan begitu saja, ya? Dengar Inas, Ibu sudah mati-matian menjaga yang tersisa. Kau satu-satunya yang akan menjadi penerus Ibu. Siapa lagi? Jangan sembarangan membuang barang! Kau harus belajar menghargai benda-benda yang disimpan di rumah ini.” 

“Aku tidak mengerti.”

“Memang. Kau tidak akan pernah mengerti. Kau juga tidak akan mengerti betapa setiap benda di rumah ini memiliki kenangan. Mereka terus bercerita kepada Ibu, Inas. Setiap saat. Kau tahu apa yang dikatakan termos-termos ini setiap hari saat ibu melihat mereka? Menur. Menur. Kau dulu mendapatkanku di pasar malam setelah tujuh kali gagal memenangkan undian. Tolong jaga aku dengan baik. Aku akan membantumu menyimpan air panas, Menur. Itu kata termos warna biru ini yang nyaris saja kau rongsokkan! Tidak dengar kau ya, Inas, mereka ini bersuara dan menangis saat akan kau bakar tadi? Bagaimana bisa kau!”

Lihat selengkapnya