Aku melihat ibu di ambang pintu di bawah sorot lampu teras yang temaram. Ia memeluk kain batik yang ia pakai menggendongku sewaktu bayi. Warnanya cokelat muda dengan motif semen rama yang bermakna kehidupan yang bersemi di tiga dunia: dunia tengah yang dihuni manusia, dunia atas rumah para dewa, dan dunia bawah yang dipenuhi angkara. Kain itu dililitkan ke lehernya. Sesekali ibu mengusap wajahnya dengan ujung kain itu.
Aku memberi salam ketika memasuki pekarangan. Kubasuh kakiku dengan air dari kran di samping semak kembang menur. Hari sudah gelap. Mega-mega oranye berpamitan dalam perjalananku ke rumah–satu-satunya tempat yang kutahu harus kutuju apa pun wujudnya pada saat itu setelah letih menghambur-hamburkan air mata.
Namun bukannya menyahut salam, ibu justru sesenggukan. Ia menutup wajahnya dengan kain batik itu. Bahunya berguncang. Dua keping logam jatuh dari lipatan kain di dadanya.
"Bu?” kusapa ia. Ibu masih menutup wajahnya. Ketika aku mendekat, tiba-tiba ibu berbalik ke dalam, menuju kamarnya kemudian menutup pintu.
Aku berjongkok, mengambil dua keping logam bertuliskan angka seratus di tengah, di bawahnya ada angka lebih kecil bertuliskan 1973 dengan kata Bank Indonesia yang melingkar di sisi atas. Aku meremas koin itu, lalu kuselipkan di saku celana.
Aku kemudian mandi dengan tanpa seseorang yang kumintai tolong untuk mematikan sakelar. Air tumpah ruah. Ibu yang biasanya paling vokal menentang segala bentuk pemborosan, masih menutup kamar dan sepertinya tidak memiliki gairah untuk mencela perbuatanku. Pun aku. Untuk saat itu saja aku ingin masa bodoh dengan perasaan bersalah karena membiarkan air mengalir hingga luber. Toh, saat itu sedang kemarau. Air yang mengalir ke comberan akan diminum akar pohon yang haus. Kuguyur tubuhku dengan air secara membabi buta seakan setiap guyuran adalah peluruh kesedihan dan ingatan muram. Namun, dalam pejam, senyum perempuan Dewi Sri--bahkan ia tidak pantas pernah menyandang gelar itu–tetap tinggal di dalam kepalaku dan suaranya yang lemah lembut itu terngiang-ngiang di telingaku. Sungguh mengerikan. Hidupku rupanya akan terus dihantui senyum perempuan-perempuan menawan.
Pukul delapan malam, ibu belum juga keluar dari kamar. Aku ke dapur untuk menghangatkan sayur blendi yang telah tinggal di dalam panci selama tiga belas hari. Isinya adalah potongan nangka muda, tempe, dan cabai hijau. Saat itu kami baru saja membabat habis pohon cabe di ladang pada tahun kedua kehidupan pohon-pohon itu yang jumlah buahnya semakin menyusut. Dari seratus delapan pohon cabai, kami mendapat tujuh kilogram cabai hijau kekuningan yang bisa dibawa pulang.
Dua kilogram cabai disatukan bersama bahan lain dalam panci besar–sangat besar–hingga aku mengira, dalam posisi duduk, panci itu muat menampung tubuhku. Lalu sayur itu berpindah panci empat kali mengikuti susut kuah santannya dari waktu ke waktu seiring dengan pemanasan jutaan kali. Setiap kali berganti panci, setiap saat itu pula satu gelas belimbing air ditambahkan, beserta biji kedelai lalu tempe bengek pada hari berikutnya lalu sisa tahu goreng lalu tulangan ayam lalu kacang panjang lalu irisan tunas bambu. Pada masa akhir pengabdiannya, sayur yang nangkanya telah mumur dan merah kecokelatan itu begitu ramai oleh kedatangan anggota baru yang tak kalah mumur. Selama tiga belas hari itu, tidak tersaji menu pendamping kecuali tahu goreng bacin dan daun pepaya muda di atas meja.
Subuh setelah menghangatkan sayur dan memindahkannya ke panci yang lebih kecil, ibu akan bergegas menilik tanah-tanah warisan leluhurnya ditemani tiga anjing yang biasanya menjaga peternakan sapi. Ibuku mengayuh sepeda, sementara anjing-anjingnya menggonggong sepanjang perjalanan. Ia ingin memastikan seluruh tumbuhannya aman dan tanahnya tidak berkurang. Saat matahari agak tinggi dan udara menghangat, ibu akan mengawasi tengkulak memanen jagung sambil memberi makan sapi-sapinya pohon-pohon jagung yang apkir. Ia merapikan pucuk pohon-pohon santan lalu memberi kambingnya makan. Lalu ia ke kebun kelapa menunggui pemanjat memetik buahnya secara bergiliran, tiga pekan sekali. Biasanya para tengkulak juga akan memborong pisang candi ibu yang masak, membawa buah itu menyeberangi selat Bali ke pasar induk Badung. Lalu ibu akan kembali kepada sapi-sapinya pada pukul sebelas, memberi mereka air garam dan jerami kering sisa panen padi pada masa tanam sebelumnya. Ibuku kembali ke rumah saat adzan dzuhur. Ia salat, memejamkan mata sepuluh menit, lalu melihatku pulang sekolah dengan semringah, mendesakku berganti pakaian lalu makan dengan kilat, karena katanya, itu adalah pertanda orang yang cekatan dalam pekerjaan.
Ibuku adalah salah satu jenis manusia yang selalu terburu-buru dalam hidupnya. Ia melakukan segala sesuatu dengan gesit, bahkan ketika ia berak di kamar mandi. Ia membereskannya hanya dalam waktu kurang dari dua menit. Begitu pula saat makan, ibu menghabiskan sepiring besar nasi dengan cekatan seakan ia menelan semua dalam satu suapan. Ibuku bergulat dengan pekerjaan dan ia pasti menang.
Ia pernah tergores ujung pelepah kelapa atau tunggul kayu yang tajam di seluruh tubuhnya secara bergantian, dari waktu ke waktu. Aku, sekali, menjumpai ia tersandung tunggul kembang sepatu yang menjadi pagar ladang jagung. Darah mengucur dari bawah kuku jempol kanan, merembes ke tanah. Ibu berjongkok, menekan jempol yang kukunya nyaris lepas itu kuat-kuat. Ia mengunyah segenggam biji mahoni yang ia ambil dari saku celana. Lalu ia memupuk lukanya dengan lumatan itu. Lalu ia menyobek ujung bajunya dan membebat jempolnya. Ia kembali berdiri, mengambil sabit yang ia letakkan di rumpun pagar lalu kembali mengayunkan benda itu dengan tekun, merapikan ranting-ranting bunga sembari menembang lagu masa remaja. Pemandangan itu, kukira, lebih mengerikan daripada penampakan demit jenis apa pun.
Kemudian, apa yang begitu buruk dari kegigihan dan kegesitan tak ternalar itu adalah saat ia menuntutku menjadikannya suri tauladan. Aku benar-benar gelagapan.
Kami berangkat, menelisik, dari satu kebun ke kebun lainnya, memburu apa pun yang bisa diuangkan atau dimakan, pukul dua siang ketika matahari sedang galak-galaknya. Kami kembali ke rumah pukul setengah enam sore dengan tangan penuh--kadangkala–tunas bambu atau pucuk lempuyang atau larva lebah dan rumahnya atau umbi talas atau buah kelor atau biji melinjo atau daun mudanya. Setelah magrib, ibu akan memintaku membantunya menyiapkan sarapan dari bahan-bahan itu, agar ia bisa berangkat ke ladang atau sawah setelah subuh, saat matahari masih agak mengantuk.
Ibuku tidak memiliki pekerja tetap. Orang-orang didatangkan hanya ketika awal musim tanam dan pada saat panen--untuk padi dan jagung dan cabai. Selebihnya, ibuku mewarisi perkebunan kelapa, mangga, rambutan, dan pisang yang tidak terlalu memerlukan perawatan khusus. Kebun mangga dan rambutan, masing-masing sebelas hektare, dikontrakan kepada tengkulak. Sementara kebun kelapa dan pisang dibiarkan liar, hidup mati tanaman di sana mengikuti siklus alam. Luas dua kebun tak terawat itu, masing-masing tujuh hektare. Ibuku merawat satu hektare sawah yang ditanami padi dan cabai dan kedelai secara tumpang sari, enam hektare sisa persawahannya dikontrakan kepada tetangga. Kebun jagung yang sekaligus menjadi rumah sapi dan kambing dan padang rumput yang paling sering kami singgahi, luasnya sekira satu hektare. Lalu, dua hektare yang tersisa adalah rumah bagi bambu, pepaya, mahoni, jati, nangka, salak hutan, dan pohon-pohon yang tumbuh oleh bantuan burung dan angin.
Dengan total pendapatan tahunan di atas lima puluh juta hanya dari kontrakan tanah, seharusnya kami hidup dengan sangat pantas dan sedikit lebih lega menyikapi hidup atau bahkan memiliki rancangan pelesiran dari satu pulau ke pulau di Indonesia setiap satu tahun sekali. Namun, ibu lebih memilih menyenangkan pihak bank dengan menitipkan seluruh uangnya di sana, dan berusaha mati-matian untuk tidak mengurangi jumlahnya bahkan seribu rupiah.