WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #13

Bintang Terang. Bintang Redup. Bintang Mati. Dan Rembulan di Tengah-tengah.

Api itu merenggut seluruh kegembiraan gadis enam tahun. 

Kakek meninggal setelah mengunjungi saudara lelakinya yang dipasung di perkebunan kelapa. Ditemani nenek, ia ingin memastikan keselamatan saudaranya di dalam pondok yang penerangannya mengandalkan sinar matahari yang menyusup dari celah-celah kayu. Pencahayaan membaik ketika pintu dibuka. Matahari leluasa. Mereka disambut aroma kotoran manusia dan tikus dan apak kayu tua dan lauk basi yang menjadi kesatuan utuh dalam ruangan tanpa jendela. 

Di ujung, seorang lelaki menunduk dengan tangan dan kaki dipasung pada sebilah papan kayu besi. Ia merintih. Ia tampak buruk. Bercak darah kering menempel di sekujur muka. Mata kanannya bengkak dan ungu kehitaman. Dagu dan bibirnya robek. Bercak merah tua itu juga memercik pada kayu pasung, nampan makan, dan pada permukaan tikar pandan, alas si lelaki yang sengsara oleh luka basah di pergelangan kaki dan tangan. 

Jika tidak ditopang istrinya, kakek sudah akan jatuh terduduk. Semula ia tidak berani menatap kepada saudara lelakinya. Rasa bersalah membuat kakek malu setengah mati. Namun, nenek mengatakan bahwa kakek adalah satu-satunya kegembiraan yang lelaki itu miliki dan sudah pasti orang yang paling ingin ditemui. Nenek menuntun kakek, teguh dan pelan. Mereka terus mendekat kendati hati bergejolak. 

Lelaki itu meraung-raung. Ia juga menggelengkan kepalanya dengan keras. 

“Bukan aku, Gus. Bukan aku. Aku tidak main korek. Aku mau pulang. Aku mau pulang. Di sini gelap.” Ia menarik-narik kaki dan tangannya dari jerat pasung. Namun perilaku itu justru semakin mengoyak lukanya. 

Lelaki itu tidak diberi nama sejak sejak kelahirannya, ketika orang-orang menyadari ia berbeda dari bayi pada umumnya. Kepalanya dua kali lipat ukuran tubuh. Agar ia hidup panjang, nama yang agung dari bahasa apa pun dilarang disandang. Dia anak yang ditandai langit. Untuk mengecoh maut, ia disamarkan. Sebab konon, anak-anak langit, hidupnya tidak akan panjang. Sebab konon, surga begitu mendambakan mereka datang. 

Namun, anak-anak desa menjulukinya cikrak. Tidak diketahui siapa pencetus pertama. Ketika lelaki itu luput dari pengawasan, ia digoda. Ketika anak-anak itu tumbuh dan berkembang biak sementara ia terperangkap di dalam jiwa dan tubuh kanak-kanak, nama cikrak telah melegenda di kalangan generasi penerusnya. Bahkan para sepupu di dalam keluarga Dharma Gumilar juga menjulukinya Cikrak, nama sebuah keranjang anyam bambu yang digunakan untuk mengangkut sampah, diletakkan di bawah. 

Kakek menenangkan saudara yang dikasihinya. Ia tahu lelaki tanpa nama itu tidak membakar Joglo Sinom, rumah yang di dalamnya ia merasa aman dan senang. Lelaki itu adalah orang pertama yang tidak mampu menutupi kegembiraan ketika para sepupu yang sering merundungnya pada akhirnya angkat kaki setelah mengemasi barang. 

“Aku mau pulang, Gus. Aku tidak nakal. Aku tidak main korek. Aku tidak membakar kasur.” Lelaki itu kembali menarik-narik tangan dan kakinya, membuat luka di pergelangan semakin dalam. “Di sini gelap sekali, Gus. Aku tidak suka tempat ini.”

Kakek mengangguk. Ia tergugu. Ia meminta nenek mengambilkan kapak dan linggis di kotak perkakas di atas pedati. Saudaranya tidak melakukan apa pun. Mereka telah bersama-sama selama puluhan tahun. Lelaki itu tidak tahu cara memantik korek, kakek tahu. Ia akan memejamkan mata saat seseorang memegang sebuah gagang pentol, bersiap menggeseknya pada sisi wadah korek. Ia selalu mengira nyala api pada pentol korek adalah jelmaan hantu banaspati. 

Namun, tiba-tiba saja, sehari setelah pemakaman sang tetua bungsu, seorang abdi yang baru saja dipekerjakan di Joglo Sinom–menggantikan abdi yang telah berpulang yang mendampingi lelaki itu sejak bayi--bersaksi bahwa lelaki tanpa nama itu memainkan korek sepanjang hari. Abdi itu merengek minta ampunan kakek. Katanya ia telah menyita korek-korek yang dimainkan lelaki tanpa nama, tetapi ia tetap terkecoh lalu terjadilah bencana. 

Saat itu kakek masih disibukkan dengan pendirian bangunan siap huni untuk sementara–cikal-bakal rumah yang aku tempati bersama ibu. Perhatiannya juga pecah, dibagi kepada para pelayat yang datang dari seluruh penjuru; yang mengenal dan merasa berhutang budi pada mendiang si bungsu; yang mengenal dan merasa pernah menyakiti atau disakiti; dan yang tidak mengenal tetapi penasaran dan merasa prihatin. Seorang sepupu pemberang, yang menikahi calon tunangannya, meminta kakek berkonsentrasi kepada para tamu yang ingin berbela sungkawa dan mempercayakan urusan itu kepadanya. 

Kakek setuju, tanpa prasangka. Ketika tamu-tamu semakin susut, setelah upacara tujuh hari kematian, kakek menyadari saudaranya telah menghilang. Lalu rentetan kejadian berurutan–dimulai sejak ramah tamah adik lelaki si sepupu pemberang yang menghaturkan maaf dan meminta kehadiran kakek dalam pesta pernikahan agungnya–membangun sebuah praduga di dalam kepalanya. 

Mereka memberangus bukti-bukti dosa.

 Mereka memberangus ayahnya. 

Mereka memberangus rumah yang telah membesarkan mereka, menaungi mereka dari petir dan hujan, bahkan serpihan kulit mati mereka, kakek yakin masih tertinggal di kasur dan dinding-dinding kamar. Sejak awal, ampunan itu sudah seharusnya tidak pernah diberikan. 

Bajingan. 

Ia memanggil sang abdi baru, menanyakan apa yang telah ia lakukan, sambil menerkam kerah surjannya. Kepada abdi itu, kakek menyampaikan ia masih menyimpan sajam warisan si tetua bungsu yang tajam dan pernah dipakai menguliti dua belas rusa di belantara hutan. 

“Saudaraku tidak tahu cara memantik api.” 

Lalu abdi itu bersujud mohon kemurahan hati kakek. Ia bilang seseorang menjanjikannya satu hektare lahan jika berhasil menghanguskan Joglo Sinom. Namun, sungguh, demi Tuhan, katanya, kematian eyang tua adalah di luar dugaan dan rencana. Kakek menghardiknya, bertanya siapa orangnya. Namun, tiba-tiba, di pekarangan, kakek mendengar derap kaki kuda menyeret roda pedati. Bukan cuma satu, tetapi dua--tiga--lebih banyak lagi. Juga deru motor yang nyaring di kesunyian malam. Kakek mengenal baik semua suara bising itu. 

 Ia menarik daun telinga sang abdi. 

“Mereka, ya?”

Abdi itu kencing di celana. 

“Yang mana?” Kakek telah meletakkan sajamnya di leher pemuda tiga belas tahun itu. Ia menyayat tipis kulit leher si pemuda. “Katakan yang mana!”

Namun, mendadak tubuh abdi itu merosot. Ia pingsan begitu saja. Kakek kemudian meminta dua abdi lain menyembunyikan pemuda itu di dalam gudang, mengikat seluruh tubuhnya dan menyumpal mulutnya dengan buntalan daun pepaya. 

“Amankan pecundang ini. Jangan sampai mati. Dia bisa dijadikan senjata kita nanti,” katanya sembari menyapu noda darah pada sajamnya dengan jari tangan. 

Kemudian ia membuka pintu rumahnya dan melihat para sepupu turun dari pedati dan motor dengan air muka riang. Sangat mencolok di bawah terang bulan. Kakek menunggu mereka di ambang pintu. Rona kegembiraan itu pudar sangat cepat ketika mereka melihat kakek menggenggam sajam. Mereka mematung di pekarangan. Salah satu sepupu memberanikan diri bertanya apa yang sedang terjadi. 

Kakekku menyilakan mereka masuk. Mereka melangkah dengan masygul. Berjalan di belakang mereka, ia berkata sedang mengasah sajam yang tidak ikut terbakar, karena pada saat bencana, masih dipercantik oleh seorang pandai besi desa. 

Mereka mengucapkan pujian kepada Tuhan, turut bahagia. 

“Ini seperti pertanda dari langit.” Kakek menimpali. 

Para sepupu yang kikuk dipersilakan duduk. Lalu seorang abdi menyuguhkan jahe hangat, kopi hitam, dan teh tubruk melati. Beberapa saat kemudian seorang abdi lainnya datang membawa enam piring camilan manis. 

Lihat selengkapnya