WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #14

Panci Kuping Satu dan Keriuhan yang Menyertainya

Jika mesin waktu itu ada, bisa digunakan sekenanya, aku akan mengulang sore itu, mengambil arah berlawanan, menutup diri dari sebuah kebenaran yang membuatku tak nyaman. Aku tidak ingin mengetahui apa pun tentang bapak kecuali ikan-ikan dan pancingnya. Ia adalah malaikat penyelamat selama lima belas tahun kehidupanku, dan sebagaimana ucapan para guru, malaikat diciptakan dari cahaya dan tinggi melampaui iblis dan manusia.

Dia yang sempurna.

Namun, sore itu mengubah segalanya. Gambaran malaikat yang sempurna itu hancur begitu saja. Aku lupa kalau ia bisa dan pernah berdarah dan tergores, tersengal-sengal dan pucat, berbau balsam dan beruban, dan ternyata ia juga bisa mencintai lebih dari satu perempuan di dalam hidupnya, seperti raja-raja dengan ratu dan selir mereka.

Malaikat tidak begitu. Malaikat itu bukan bapakku.

Bapakku manusia– seharusnya, dengan menyadari hal itu, aku akan merasa lebih baik, dan juga lega menerima kenyataan bahwa ia juga akan bersalah pada suatu waktu. Akan tetapi, apakah menyembunyikan perempuan lain saat ia sedang bersama perempuan lainnya adalah kesalahan yang patut dimaklumi? Bapak menipu ibu, menipuku, menipu kami. Sejak kapan? Tidak. Ini terlalu menyakitkan.

Bapak yang pernah menyelamatkanku dari tragedi kutang di masa lalu rupanya adalah bapak yang—. Astaga. Ini sangat sulit. Aku ingin menolak memercayainya. Namun, semakin aku ingin membencinya, semakin banyak ingatan baik tentangnya yang mencuat keluar, seperti potongan-potongan adegan dalam sebuah film yang mengharukan.

Dia mengelus rambutku saat aku dimarahi ibu, lalu mendongeng kisah tentang Nawang Wulan dan Jaka Tarub sampai aku tidur. Dia berjanji membuatkan selusin lidi yang pucuknya diolesi getah nangka, lalu kami akan menangkap capung bersama, ketika aku murung melihat teman-teman bermain sepeda, sementara aku tertahan oleh ambisi kerumahtanggaan ibu--dan dia menepati janjinya. Kami menangkap banyak capung. Juga kupu-kupu.

Ketika musim kawin tonggeret, pada akhir musim hujan, bapak menungguku di ujung gerbang sekolah dasar. Ia menculikku dari tugas kerumahtanggaan yang menantiku di rumah. Sebentar saja, katanya. Lalu kami menyusuri kebun, mendongak kepada setiap batang pohon, untuk menangkap tonggeret jantan yang sedang berkompetisi menaklukkan betina dengan nyanyian nyaringnya. Yang agak kehijauan dan tidak bersuara, adalah tonggeret betina, kata bapak. Kami berancang-ancang, telapak tangan membentuk menyerupai mangkuk, lalu menepuk batang pohon yang dihinggapi para tonggeret yang sedang pesta tahunan. Sayap serangga itu bergerak sangat cepat. Ringkih kakinya mencari-cari jalan keluar dalam tangkupan tangan. Semua itu menimbulkan rasa geli dan menerbitkan kegembiraan. Kalau beruntung, kami akan mendapatkan banyak. Kalau ibu tahu kami menangkap banyak serangga yang muncul satu tahun sekali untuk bernyanyi, kawin, lalu mati itu, ia akan sangat senang karena ia akan mendapatkan lauk tambahan tanpa keluar uang. Namun bapak tidak mau membawa mereka kepada ibu untuk dijagal. Katanya kasihan. Mereka tidak hidup setiap hari.

Dalam perjalanan pulang, kami akan melepas mereka satu demi satu sembari bercakap-cakap tentang banyak hal, dan selalu diakhiri dengan sebuah saran agar aku bersedia memahami ibu dan tidak usah berdebat dengannya. Kubilang, aku akan mengusahakannya. Meskipun aku tahu ibu akan selalu menang dalam banyak hal, termasuk perdebatan, aku merasa, setidaknya aku pernah harus bersuara. Itu penting untuk kesehatan batinku. Tujuanku bukan menang atau kalah. Aku hanya harus bersuara. Itu saja.

Aku penasaran mengapa ia tahan dengan ibu. Bapak hanya menjawabku dengan sebuah tawa. Kukira, itu karena ia mencintai istrinya. Sangat mencintai istrinya. Saat-saat seperti itu aku merasa bapak dan aku adalah teman sepernasiban yang cocok dan apabila diperlukan, dalam keadaan terdesak, kami akan bersatu melawan badai amukan ibu.

Aku ingin, sesekali, ia menyahut omelan ibu, seperti yang aku lakukan, sebagai sebuah bentuk pembelaan atau perlawanan diri. Aku kira, tinggal diam-diam bersama perempuan lain saat ia selalu berpamitan memancing adalah perlawanan diri yang kejam. Jika itu adalah bentuk perlawanan atau, bisa jadi, balas dendam. Aku bisa mengerti, mengapa ibu sangat membenci ikan. Mungkin saja itu sebuah sinyal yang dikirim alam bawah sadarnya. Membayangkan aku pernah sangat lahap makan ikan buatan perempuan itu sungguh membuatku mual. Namun, yah, aku akui, masakannya memang enak dan harum.

Lalu uang yang ia dapat dari hasil berjualan ikan, ke mana perginya? Apakah kepada anak lelaki itu. Sudah pasti itu anaknya, bukan? Lalu semua uang dari olahan kebun peninggalan ibunya? Apakah perginya ke sana semua, kepada perempuan yang tidak lebih tua dari ibuku? Ini terlalu jauh. Pikiranku melampaui kesanggupanku.

Aku kasihan pada ibu. Tuhan. Meskipun kami tidak cocok untuk banyak hal, tetapi bukan berarti dia layak ditipu. Apalagi oleh suaminya. Berapa tahun mereka hidup dalam kepalsuan? Apakah sejak aku bisa merasakan mereka yang memagari diri satu sama lain? Sayang sekali, pagar itu tinggi dan tidak berpintu.

Mungkin saja--mungkin saja bapak tidak sepenuhnya salah. Namun, duh, mana bisa. Dia menipu kami. Dia menipu ibu. Dia menipuku.

Malam itu bapak pulang sangat larut. Aku mendengar ia membuka kunci pintu dengan perasaan tidak rela. Untuk apa terus berpura-pura dan memaksa diri selama bertahun-tahun begitu? Apakah ia tidak lelah.

Ibu sudah tidur, tetapi terus terbangun, lalu menangis, mengigau perkataan yang sama secara berulang bahwa ia sudah pernah kehilangan dan itu sangat banyak. Hanya dalam waktu semalam aku mendengarnya seribu kali, seperti limpahan energi buruk, yang menguap dan menular.

Ya, bahkan lelaki yang nyata-nyata bersamanya–ia telah kehilangannya.

Subuh, saat aku pada akhirnya memejamkan mata, ibu berteriak-teriak dari dapur, katanya pancinya hilang.

“Yang kupingnya lepas satu. Yang ada cap merahnya di bawah kuping yang utuh. Cap itu ditulis nama ibu di sampingnya. M-E-N-U-R. Huruf R-nya terbalik. Memang. Bodoh betul itu tukang ukir.”

“Tidak tahu, Bu.” Aku belum pernah melihatnya sepanjang aku membantu ibu di dapur mengatasi ambisi kerumahtanggaan.

Pagi itu masih gelap. Aku dan bapak duduk berdampingan di kursi rotan di samping pintu masuk dapur, dengan lesu, dan bahkan mataku sangat bengkak oleh-oleh dari menangis semalaman. Oh, bukan, ya. Air mata itu menitik sudah sejak sore, ketika tragedi aku terjerembab ke dalam tumpukan benda-benda usang ibu. Pantas saja kelopak mataku sakit dan berat.

Sementara itu, perempuan yang membangunkan kami dengan suara nyaringnya, telah jutaan kali mondar-mandir di dalam rumah, menilik setiap celah sudut yang bisa ia jangkau, bahkan ia mengintip rongga tipis di antara dinding dan punggung lemari, sebuah tempat yang tidak mungkin menjadi tempat sembunyi panci. Bunyi benda-benda berjatuhan yang melengking, seakan disusupi sikap intimidasi ibu, sangat membuat tidak nyaman, seakan mengatakan, bergegaslah bantu aku!

“Kalian akan begitu terus sampai matahari terbit lalu tenggelam lagi?”

Aku benar-benar tidak tahan. “Bu, sekarang Minggu, aku–”

“Biar aku yang naik ke sana.” Bapak memotong ucapanku.

Kemudian bapak berdiri. Ia lewat di depanku dan seketika, samar aroma daun tembakau yang baru saja dirajang, tersangkut pernapasanku. Darah, jantung, hati, kepala, rasa-rasanya, pagi itu semua organku mendidih dan bergejolak.

Aku kemudian berbaring di atas kursi rotan, bagian yang semula diduduki bapak kini menjadi tempatku menyandarkan kepala. Aku menyaksikan mereka menggeledah rumah, memanjat kursi, melongok ujung, dari satu lemari ke lemari lainnya. Mereka sedang bekerja sama, tetapi mengapa pagar itu tidak tampak roboh di mataku--masih tinggi, bahkan meninggi?

“Inas, kau tidak lihat kami sedang kesusahan? Sikap apa yang kau tunjukkan itu?”

“Demi Tuhan. Bu, bukankah ada seribu panci lainnya di dapur? Di bufet? Dari yang berlubang sampai yang baru. Dari yang pecah sampai yang gundul kupingnya itu.”

“Kau bilang apa?” Ibu yang semula berada di ujung ruang, beranjak mendekatiku sembari melipat tangan. “Baru semalam kau minta maaf. Sekarang kau sudah seperti ini lagi?”

“Bu–”.

Bapak lalu memanggil ibu, memintanya membiarkanku tidur sejam atau dua jam lagi.

Lihat selengkapnya