WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #15

Kematian Beruntun

Bapakmu mati dibunuh, Menur. Ingat itu sampai kapan pun. Bapakmu mati dibunuh.

Kalimat itu diucapkan ibunya setelah mereka duduk di atas kursi pedati. Ia masih belum rela meninggalkan rumah masa remaja sang ibu, meninggalkan seorang eyang yang ia punya setelah eyang lainnya tidak lagi ada. Malam yang panas dan berasap, setelah kejadian itu, ia semakin takut kehilangan segala sesuatu.

Sang ibu memberi isyarat kepada kusir untuk memacu kuda. Tubuhnya condong ke samping, menghadap rumah yang harum oleh aroma mangga kuweni yang berjatuhan di pekarangan. Sang kakek berdiri dengan bantuan tongkat, menatap penuh kasih kepada cucunya yang terus melambai hingga tikungan. Pohon salak liar yang rimbun di tepi tikungan itu kemudian memisahkan jarak pandang antara keduanya. Pandangan mata gadis itu berpindah pada sekeranjang kuweni di bawah, di antara kakinya dan sang ibu. Mangga yang wanginya semerbak itu menjadi salah satu pemberatnya pergi dari rumah itu selain juga piton jinak seukuran paha orang dewasa bernama Genuk. Ular yang dipelihara sang kakek sejak bayi yang ditemukan melingkar di bawah bantal saat terang bulan.

Perpisahan selalu membuat tak enak hati. Apa pun bentuknya. Eyangnya bisa saja dicuri malaikat maut sewaktu-waktu. Tidak ada yang menjamin bahwa keesokan hari mereka akan bertemu lagi.

Dalam perjalanan menjelang malam itu, setelah mengucapkan kalimat yang memprovokasi kecemasan di dalam dirinya, sang ibu justru lebih banyak diam.

“Apa itu dibunuh?” ia menatap ibunya penasaran.

Namun sang ibu, yang semula begitu hening, justru pecah tangisnya, beberapa saat setelah anak gadisnya memberi pertanyaan. Perempuan itu memukul-mukul dadanya. Ia tampak begitu sakit. Melihat kepahitan itu, air mata gadis itu juga menitik satu-satu.

Saat tangisnya mereda, ia berkata: “Kita akan tetap berada di sana, di rumah itu, untuk mempertahankan tahta. Kita sudah terlanjur. Ini semua sudah terlanjur, Menur.”

Gadis itu takzim mendengarkan, meskipun perkataan ibunya begitu rumit. Ia menatap lurus kepada punggung kusir yang mengendalikan dua kuda hitam besar. Kuda itu milik bapaknya, dibeli dari seorang saudagar dengan menukar perhiasan di tubuh sang istri setelah dua kuda sebelumnya melarikan diri, sewaktu api melalap Joglo Sinom yang pembangunannya melalap tujuh hektare lahan eyang tua. Umur tinggal dua ekor kuda itu bersama mereka baru tiga hari. Namun, kuda-kuda itu tampak patuh dan menahan diri.

Seseorang memberitahunya, eyang tua gila dan hangus oleh ambisinya. Lalu ia meneruskan ucapan itu kepada sang ibu. Apa maksudnya. Perempuan itu menjawab, eyang tua sangat sehat dan sedang menunggu para malaikat membangun ulang Joglo Sinom di surga.

Ia meneruskan jawaban sang ibu kepada seseorang itu. Tawa tak diduga-duga pecah dari rongga mulutnya lalu katanya, bagaimana kau tahu eyang tuamu itu sedang di surga?

Saat ia meneruskan kembali pertanyaan itu kepada sang ibu, perempuan itu begitu geram dan bertanya siapa seseorang yang mulutnya tidak pernah diberi pelajaran itu?

Arimbi, katanya. Dia adalah istri si sepupu pemberang. Waktu itu sang suami masih memiliki sisa umur beberapa hari, dan pongah. Pantas saja, kata sang ibu. Tidak mengherankan. Lalu ia meminta anak gadisnya menyampaikan salam kepada perempuan itu, eyang tua memang tinggal di surga. Sebab Tuhan tidak akan pernah menyatukan mereka, sekali lagi, di tempat yang sama.

“Kalau Bibi Arimbimu itu sangat pintar. Dia pasti tahu artinya.”

Ia menyampaikan salam itu kepada bibinya sehingga perempuan itu merah padam mukanya.

Sang ibu tertawa demi mendengar anaknya menggambar roman muka Bibi Arimbi melalui kata-kata. Jangan sampai berurusan lagi dengan perempuan gila itu, kata sang ibu, waktu itu.

Pedati itu terus melaju menyibak jalan yang telah berubah gelap. Suara gemerincing kalung kuda dan derap sepatunya bersahut-sahutan dengan derik jangkrik dan hewan malam. Lampu petromak yang menempel di tiang pedati adalah satu-satunya pencahayaan di tengah jalan yang membelah perkebunan mangga, lalu tebu, lalu pisang, lalu kelapa. Serangga kecil menyerbu lampu temaram itu yang mencolok malam. Beberapa dari mereka, terbang di sekitar kepala, menangkap aroma kehidupan yang hangat di bawah permukaan kulit.

Gadis itu sendirian. Semua, memalingkan muka darinya. Sang ibu menoleh ke samping, ke dalam gelap rimbun pepohonan. Kusir dan kuda memunggunginya. Ia resah. Namun ia tidak tahu harus membaginya kepada siapa. Jika situasi sedang tidak genting, ia pasti sudah menangis dalam pelukan orang tuanya saat harus terjebak perjalanan malam-malam begitu. Ia akan menutup matanya hingga tiba ke tempat tujuan. Namun, siapa yang bisa ia peluk. Jika pun ia menutup mata, kepalanya telah merekam jejak kecemasan yang tak kalah mengerikan daripada warna malam. Ibu yang biasa menenangkannya dengan tembang-tembang macapat, justru tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Ia ragu-ragu dan khawatir mengganggu ratapan perempuan itu.

Namun ia tidak tahan jika hanya diam. Ia harus bersuara untuk menekan kecemasannya.

“Kenapa Bapak tidak datang menjemputku– kenapa Ibu saja yang datang?”

Pertanyaan itu tampak bodoh, tetapi meluncur begitu saja dari bibirnya yang gemetar–apakah itu buah ekspresi penolakan yang berkecamuk secara berkesinambungan di dalam dirinya?

Ia tidak mengerti.

Sontak sang ibu mencengkeram bahu mungilnya. Tatapan matanya seperti tokoh penjahat yang terluka dan marah. Gadis itu terkejut dan takut. Seharusnya memang ia diam saja. Pertanyaan itu mengusik ibunya terlalu dalam.

“Apa aku tampak sedang bercanda sekarang?”

Gadis itu menggeleng. Cengkeraman sang ibu menguat.

“Bu–” Matanya berkaca-kaca. “Sakit.”

Perempuan itu seketika melepas pegangan tangannya. Ia memandangi kedua tangan itu, tak habis pikir. Ia kemudian memeluk anak gadisnya, mencium ubun-ubunya, mengucapkan maaf yang perlahan.

“Nanti kau akan bertemu Bapak di rumah.”

Bapaknya tidak mungkin mati. Bagaimana mungkin lelaki itu mati begitu saja setelah menjanjikan banyak hal, merayunya menyudahi sedih setelah eyang tua berpulang?

Mengajak ke sendang, di sumber mata air, di kaki perbukitan, yang selalu nampak biru kehijauan di ujung pematang sawah, adalah salah satu janji kakek yang katanya akan menjadi yang pertama kali ditunaikan. Nanti setelah empat puluh hari upacara kematian eyang tua, katanya, mereka akan menempuh perjalanan ke sana. Air pemandian itu, orang-orang bilang mengalir sangat jernih dan senyata cermin untuk mematut diri. Dahulu bidadari mandi dan bercanda di sana dan orang-orang yang pernah mencelupkan tubuh dalam airnya akan memiliki daya pikat seperti perempuan-perempuan langit.

Salah satu penyesalan perempuan itu setelah tumbuh dewasa dan mengarungi banyak usia, yang kelak ia utarakan menjelang kematiannya, adalah ia yang tidak pernah memiliki kesempatan untuk mencelupkan tubuh di pemandian itu lalu meraih daya pikat para bidadari, yang konon katanya, sangat wangi seperti bunga tanjung.

Bapaknya juga berjanji memberikan radio yang ada pita kasetnya. Ia pernah termangu-mangu di hadapan radio yang di dalamnya ada benda persegi dengan dua gulungan pita cokelat, berputar-putar, dan saling terkait, yang menyuarakan rintihan lagu ratapan anak tiri di salah satu rumah sepupunya. Tape Radio itu adalah pemandangan yang mengagumkan baginya sehingga ia juga ingin memiliki satu di kamarnya. Bapaknya bilang, kelak, akan memberikannya dua.

Namun, pemilik janji itu sudah mati. Kata ibunya, dibunuh. Apa itu? Sang ibu belum memberikan jawaban. Kenapa ia belum pernah mendengar kata semacam itu keluar dari orang-orang di sekitarnya. Jika melihat ibunya yang menangis sedemikian rupa, saat itu, ia yakin kata itu bermakna sangat buruk. Jadi, bapaknya mati dengan cara yang lebih buruk dari eyang tua.

Lihat selengkapnya