Seperti yang sudah-sudah, setiap tahunnya, hujan membasuh kami basah kuyup hingga ke tulang, setelah sekian waktu angan-angan kami dimainkan oleh arak-arakan mendung yang turun sebagai gerimis kecil yang seketika menguap oleh udara yang kerontang. Gerimis itu turun bukan untuk membasuh, tetapi memperkusam permukaan dedauanan dan benda-benda yang kebetulan ditimpanya. Lalu kegembiraan purba yang murni muncul pada diri kami, di awal-awal, ketika hujan muda, masih sangat ramah. Ia sejuk dan wangi, melarut debu, dan menenangkan kami yang was-was, prihatin akan nasib para tumbuhan. Namun, pada akhirnya, ketika ranting pohon yang meranggas kembali hijau merimbun dan rerumputan sekarat kembali sehat, keprihatinan itu beralih untuk diri kami sendiri–orang-orang yang bertetangga dekat dengan seribu sungai. Saat itu hujan beranjak dewasa dan mulai berlebihan sehingga sungai meluap karena kekenyangan. Lalu ia membagi luapan itu kepada kami yang berperut kecil.
Sungai itu menenggelamkan. Ia menyapu endapan sampah. Ia menyeret bebatuan, lumpur, dan pohon-pohon tumbang. Di sawah, padi-padi muda tergenang dan rebah. Apa yang paling buruk, adalah ketika hujan yang penuh semangat itu membawa serta teman-teman karibnya. Mereka adalah badai dan petir. Saat mereka berkongsi, orang-orang akan menutup rapat jendela dan lubang-lubang angin sembari berdoa penuh kesungguhan agar pepohonan yang menjulang tidak menimpa rumah dan ubun-ubun sanak saudara mereka.
Ibuku, tak terkecuali, ia melakukan hal yang sama. Ia menutup pintu, mengunci jendela, dan meneriaki siapa saja yang berani memutar televisi saat langit mulai mendung. Hujan itu menyenangkan, barangkali untuk beberapa saat, bagi beberapa orang yang sedang lelap di bawah selimut, selama rombongan air itu turun mengguyur sambil–konon katanya–juga memanggil-manggil ingatan yang menyenangkan di masa lampau. Aku tahu beberapa jenis kehidupan semacam itu. Namun, yang aku alami adalah jenis kehidupan lain, yang mana hujan–bagiku–tak ubahnya penyusup yang merembesi dinding dan jatuh dari lubang-lubang genting bersama serpihan kotoran cicak dan tikus dan dedaunan cokelat yang kuyup.
Curahnya yang tinggi, juga mengundang para cacing untuk bangkit dari tanah, melata hingga ke dalam lantai rumah, melalui celah-celah kecil di bawah pintu. Lalu dari retakan dinding dan kayu, para artropoda, merayap, menampakkan diri beserta anak cucunya. Insting mereka mengatakan rumah manusia adalah tempat yang aman ketika hujan menggempur sarang mereka habis-habisan.
Namun aku bukan manusia ramah, dan juga bukan manusia dengan karakter pilih kasih satu di antara dua. Aku tidak menyukai mereka, semua. Hujan juga menggempur rumahku. Di setiap sudut, aku memasang ember dan melapisi pantatnya dengan dua atau tiga lembar kain, sebagai tadah bocor. Garam kutabur di setiap ambang pintu keluar, agar cacing itu berpikir ulang untuk bertamu ke rumah. Saat aku melihat lenyai merayap di dinding, seketika itu, aku akan melibasnya dengan sebuah misi untuk melindungi lubang telingaku dan tubuhku dari sengatnya yang menyakitkan. Binatang itu, jasadnya, mengeluarkan cahaya kehijauan dan beraroma tajam di dinding rumahku yang temaram.
Tidur kami tidak lagi nyenyak, menantikan kejutan yang akan diberikan alam, karena yang berpikir rumah kami adalah tempat aman bukan hanya cacing dan kelabang, tetapi juga keluarga ular dan kalajengking. Mereka juga kebanjiran dan menggelandang. Bersitatap dengan ular yang menggantung di para-para atau melingkar di bawah bantal atau menggeliat di sudut kamar mandi adalah hal lumrah yang terjadi di sepanjang musim hujan. Hari-hari itu, kami akan sering mendengar kabar tentang orang-orang yang jatuh sakit disengat kalajengking atau dipatuk ular atau digigit nyamuk malaria dan demam berdarah.
Musim hujan kali itu, ketakutanku akan mati dipatuk ular meningkat berkali-kali lipat sebab melihat ibu yang pulang dari kebun atau sawah atau pasar dengan menenteng sekantong besar benda antah berantah yang ia pungut di sepanjang jalan. Lalu ia menyusupkan benda itu ke kolong dipan dan setiap sudut ruang.
“Orang-orang di luar sana semakin tidak tahu cara menghargai barang,” katanya sembari menyelipkan kardus-kardus yang telah dibongkar menjadi lembaran di celah punggung lemari dan dinding.
Saat itu hujan deras. Lantai kami begitu dingin dan basah pada titik-titik bocor. Hanya dalam waktu dua pekan, dengan curah hujan seperti itu, jamur dinding akan mekar dengan ceria, dan ibuku meletakkan kardus di sela dinding dan papan kayu lemari itu, menyediakan rumah yang segera membuat mereka kerasan hingga musim hujan berikutnya. Ia juga menyimpan umbul-umbul Agustusan yang telah ditinggalkan orang-orang di tepian jalan, berupa kemasan minuman yang dicat merah yang digantung di depan rumah. Saat itu akhir pertengahan November, umbul-umbul itu pudar warnanya, dan compang-camping, lepas dari ikatan.
Setiap tahun, ibu selalu bilang akan menyimpan mereka untuk Agustusan tahun depan dan memolesnya ulang, tetapi ia tidak pernah mewujudkannya karena jumlah mereka yang terlalu banyak dan ia kebingungan memilih satu di antara sekian rupa umbul-umbul itu. Ia takut bersikap tidak adil. Pada akhirnya, ia tetap memilih umbul-umbul miliknya sendiri yang telah bertahan melewati badai jaman sejak abad sembilan belas, hadiah ulang tahun mendiang eyangnya dari pihak ibu. Umbul-umbul itu ditenun seorang perajin sarung dari kaki gunung Bromo, di Tengger. Warna putihnya telah bertransformasi menjadi cokelat sangat muda. Lalu umbul-umbul pungutan itu berakhir berdesakan di kolong rumah bersama para pendahulunya.
Satu tahun berlalu sejak hari aku mencoba mengeluarkan benda-benda miliknya yang tampak semrawut dan kusut. Ibuku kemudian memperlihatkan kecenderungan merangkul sebanyak-banyaknya benda dari luar, yang telah dihempaskan orang lain di selokan dan tempat sampah, bahkan ia menghitung jumlahnya, berulang-ulang, setelah mengetahui aku pernah menghanyutkan setumpuk kalender yang telah rapuh dimakan rayap. (Aku berhenti membagi barang-barang ibu kepada sumur tua, setelah bapak mengatakan nenekku meninggal karena tenggelam di sana. Setiap saat aku mencoba melongok, permukaan airnya yang buram seakan memperlihatkan reka kejadian. Aku agak sungkan dan menyesal telah semena-mena pada sumur itu seakan aku telah durhaka pada nenekku.)
Ibu mengejar kalender itu hingga ke hilir. Sementara aku mengekornya, dengan mengambil jarak. Ia turun ke sungai untuk mendapatkan kembali kalender yang telah lumat dan mengendap di dasar sungai yang berlumpur. Saat itu masih kemarau. Tinggi air hanya sepaha orang dewasa.
Ia bukan cuma mendapatkan kembali kalendernya, tetapi juga sayatan beling di pangkal tumit. Aku merangkulnya sepanjang perjalanan pulang. Meskipun ia menangkis tanganku berulang kali dengan kaki kanan berdarah dan terpincang-pincang dan pakaian yang basah. Ibu mendekap kalender itu seakan ia memeluk bayi.
Bapak bilang sebaiknya aku lebih bisa menahan diri, sebab aku pemicunya. Aku nyaris membakar harta benda ibu yang membuat ia seakan-akan merasakan kembali kesedihan itu. Aku kira bapak ada benarnya. Maka aku mengikuti sarannya untuk bersikap tabah. Aku membiarkan ibu bersenang-senang dengan mereka. Ia mengelus dan menatap mereka nyaris sepanjang hari dan ibuku berbicara lebih banyak kepada mereka daripada aku, anaknya.
Hingga musim hujan tiba dan aku melihat rumahku begitu mengenaskan.
“Tidak bisa. Sampai kapan begini. Harus ada yang memberitahu ibu untuk berhenti.”
Aku menggerutu kepada bapak. Lelaki itu diam saja. Saat itu kami duduk berdampingan menyaksikan air hujan mengalir di dinding rumah--semula hanya satu garis lalu bercabang menjadi dua setelah garis itu melewati permukaan dinding yang kasar dan menonjol lalu pecah lagi menjadi tiga dan seterusnya hingga menyerupai gambar akar pohon.
“Kau sudah pernah melakukannya. Kau juga tahu apa yang terjadi setelahnya.”
Aku membenci jawabannya. Tidak. Bukan seperti itu seharusnya. Aku ingin ia lebih berusaha, bahkan jika itu hanya dalam sebuah kalimat.
“Bapak bisa bilang begitu karena Bapak tidak benar-benar tinggal di rumah ini.”
Bapak diam.
Aku melanjutkan serangan. “Kalau bukan karena hujan, aku tahu Bapak sudah akan pergi memancing di rumah kawan baik itu. Mungkin sampai larut.”
Bapak masih diam.
Aku semakin gencar. “Bapak pulang dalam keadaan rumah sudah gelap. Bapak tidak melihat apa pun. Malam menghalangi mata Bapak melihat kebenaran. Bapak tidak mencium bau busuk apa pun, karena aroma daun tembakau itu semerbak menempel pada pakaian Bapak.”
Bapak masih diam.
Aku—tidak tahu mengapa–serangan yang kubuat sendiri dan kuutarakan dengan lantang itu justru menikamku. Sakit sekali dadaku.
“Bapak meninggalkan aku sendirian di sini. Bapak meninggalkan kami.”
Lalu aku bergegas melarikan diri ke kamar setelah serangan terakhir itu, tanpa pernah lagi menoleh bapak. Namun dalam perjalanannya, di tengah-tengah ruangan, aku melihat ibu, berdiri menghadap bufet. Ia memunggungiku tetapi seakan menunggu.
Aku menyeka air mataku. Lalu kusapa perempuan yang sedang menata botol losion dan bedak yang ia dapat dari bantaran sungai pasar. Beberapa kali, aku berpikir, kebiasaan ibu ada baiknya, dan mungkin saja akan menjadi bisnis rongsokan yang menguntungkan seandainya ia mengumpulkan semua benda tersia-sia itu lalu menukarnya dengan rupiah dan bukannya menimbun mereka di kolong.
Saat aku berjalan bersebelahan dengannya, ia berkata, “Sekarang, akhirnya kau juga membenci ikan-ikan itu.”
Kalimat itu seperti kilat, mengejutkan dan cepat, kendati disuarakan dengan nada rendah, berkebalikan dengan lengking amarahnya yang sering aku alami. Ia tampak tenang.
Aku tidak melihat raut wajahnya. Punggung itu berbicara sangat banyak. Aku kira ia mengetahui sesuatu. Namun, ibu bukan orang yang setenang itu bersikap akan hal yang menurutku genting. Aku menepis prasangka yang timbul dari hati yang prihatin itu. Ibu bilang ikan, bukan? Bukan perempuan. Barangkali ia mendengar percakapan kami, tetapi ia tidak menangkap sejauh itu. Ya. Pasti.
Aku kembali meneruskan perjalananku ke kamar dengan gumaman yang aku sendiri tidak paham demi untuk berpura-pura membalas ucapan ibu.
Perempuan itu tidak menuntut penjelasan. Ia bahkan tidak menoleh. Ia berada di sana, jauh, di dalam kenangannya dan botol-botol kemasan di hadapannya adalah kegembiraannya sekaligus penderitannya.
Satu tahun aku menyimpan rahasia itu dari ibu. Bukan karena diminta bapak. Bapak tidak mengatakan apa pun. Setelah hari itu ia bersikap biasa seakan aku tidak pernah menemukan kebenaran apa-apa. Hanya saja, ia menambah durasi kehadirannya di rumah, lebih lama. Ia pamitan memancing setelah aku pulang sekolah, setelah ia menemani ibu memberi makan ternak. Kemudian ia kembali ke rumah pada dini hari, kadang lebih cepat, masih dengan sekeranjang ikan sungai harum dan gurih yang–benar kata ibu–aku tidak bisa menelannya lagi.