WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #17

Sengketa Tahta

Ya. Tidak pernah ada yang bertanya padanya, apa keinginan terbesarnya dalam hidup? Apa ia memilikinya? Selama ini ia bergerak bak wayang. Kaki dan tangannya menampar, menyulam, mengusap, semua terserah kehendak dalang. Sejak sang ibu meminta ia mengingat nasib tragis sang bapak, hidupnya benar-benar tak lagi sama. 

Malam itu, dari balik pintu, dua perempuan yang menjanda kurang dari sehari, memperdengarkan kepadanya jenis kehidupan yang sama sekali baru. Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, mereka telah berubah menjadi perempuan yang begitu seram. 

Tahu-tahu, sang ibu membuka pintu, sontak gadis yang bersandar di sana terjungkal ke dalam, menubruk kaki sang bibi. 

“Kau menguping.” Arimbi menegurnya. 

Gadis itu tampak ketakutan. Ia segera minta ampun. 

“Tidak. Biarkan saja. Semakin banyak dia tahu. Semakin baik. Dia akan menjadi perempuan yang selalu ingat dan kuat.”

Lalu setelah mengancam abdi, mereka bergegas meninggalkan rumah duka itu, menuju rumah bordil.

Ia mendengar semua. Arimbi, sang bibi, cemas akan ditendang dari Dharma Gumilar karena ia tak punya keturunan. Satu-satunya anak yang ia miliki adalah Iswan, sembilan tahun. Dulunya ia bayi yatim piatu, anak dari mendiang abdi kesayangan suami. Orang tuanya meninggal diserang batuk basah dan berdarah. Bayi itu berumur lima belas bulan sewaktu ia angkat sebagai anak untuk memancing kehamilan. Namun, hingga bertahun-tahun kemudian, hingga suaminya meninggal, perutnya belum juga membesar. 

Ibu bilang Arimbi masih bisa diselamatkan. Belum tentu perempuan itu mandul. Sebab sang suami, selama hidupnya, meniduri banyak perempuan dan tak ada yang datang minta dinikahi. 

Perempuan itu mengiyakan lalu bertanya apa ada cara, dan, ya ibu tahu sebuah cara. Maka mereka mengunjungi rumah bordil itu pada hari kematian suaminya, mencari benih terbaik yang akan tumbuh sehat dalam rahimnya. Mereka berdua memakai topeng untuk menjaga nama baik, menyewa lima preman untuk keselamatan, dan membekali diri dengan sajam untuk hal yang tak terduga. Setelah usai, lelaki pilihan itu kemudian diberitahu untuk pergi sejauhnya jika masih merasa terbantu dengan keberadaan kelaminnya. 

Malam itu juga, desas desus berembus, dibawa angin dan diteruskan dari dinding ke dinding, ditabur oleh pasukan khusus berbadan besar sewaan para lelaki generasi kedua Dharma Gumilar–dan dengan cepat berita itu bertunas, berkembang biak, memanggil sisi manusia yang paling kelam dan kejam. 

Konon keluarga itu dikirimi teluh yang sangat menghancurkan, bunyi desas-desus itu. Pelakunya seseorang yang rumahnya menghadap timur barat dengan pohon sukun tumbuh di pekarangan. Ia adalah dukun muda yang sedang bangga dengan ilmunya. Kemudian ia dengan kepalsuannya, menyusup ke dalam keluarga yang luhur dan agung itu sebagai abdi yang lugu. Lalu ia, pertama-tama, mengerahkan pasukan banaspati untuk membakar eyang tua yang dermawan dan bijak bestari. 

Ia mengirim teluh kepada dua anaknya setelah kematian eyang tua. Teluh yang merenggut nyawa. Seorang sepupu gagah berani yang mencoba mengeluarkan teluh mereka, ikut direnggut nyawanya, lalu sang tetua mantan prajurit Heiho nomor dua, yang mencoba membalas kematian anaknya, justru terempas juga, lalu saudara bungsu yang merasa tidak berguna karena tidak membantu apa-apa, akhirnya menjadi gila. 

Dukun itu, ia tidak lagi berlidah. Seorang lelaki pemberang dibayar untuk menjagal indra pengecapnya. Ia diarak, melampaui setiap penjuru desa untuk dipermalukan hingga subuh. Lalu mereka membakar pemuda itu dan rumahnya. Bapak dan ibunya berusaha mencegah amukan warga yang dipimpin para lelaki berbadan besar. Namun, mereka tak berdaya. Anak semata wayangnya itu meninggal seiring dengan api yang membumbung ke angkasa. 

Aroma asap itu sampai juga ke hidung si gadis kecil yang sedang berbaring di samping jasad bapak dan pamannya. Ibunya belum pulang, kendati sebentar lagi matahari terang. Lilin putih itu sudah berganti sebanyak sembilan belas kali. Sebentar lagi rumahnya akan ramai oleh orang-orang yang simpati dan penasaran. 

Malam, pada upacara tiga hari kematian bapaknya yang digelar bersamaan dengan pamannya dan paman pemberang--tidak, rasa-rasanya semua orang tampak berubah sebagai pemberang–Arimbi menampari tubuhnya sembari meratap di depan semua orang: betapa celakanya ia karena mengandung ketika suaminya tiada. 

Para tamu turut prihatin. Ia diminta tabah. 

Para sepupu ipar meragukannya. Namun, sang tetua meminta mereka menahan sikapnya. Orang-orang sedang menyaksikan mereka. Juga, Empat puluh hari masih sangat lama, arwah mereka yang meninggal masih berdiam di bumi, menyaksikan aneka polah yang hidup. 

Saat itu benih di rahim perempuan itu belum tumbuh, atau barangkali belum mencapai indung telur, atau bisa saja gagal mencapainya. Namun, ia beruntung ketika empat puluh hari upacara kematian sang suami, ia bisa merasakan kehidupan benihnya. Tubuhnya memberikan pertanda. Para ipar sepupu–terjegal harapan mereka. 

Pada satu waktu, di depan mata si gadis, Arimbi bertanya kepada sang ibu, mengapa perempuan itu mau membantunya. 

Lalu ibu si gadis membalas pertanyaan dengan sebuah pertanyaan. “Mengapa kau datang dan begitu yakin aku akan membantumu?”

Arimbi bilang ia pernah diberitahu, “Ada satu waktu, saat kau harus berkongsi dengan musuhmu untuk mencapai sesuatu.”

Ibunya menyeringai. Arimbi tertawa.

“Kita ini sama. Posisi kita sebagai orang luar sedang terancam. Anakmu itu perempuan, satu-satunya. Sebagian harta suamimu akan dialihkan kepada keponakan-keponakannya. Kau pasti sudah tahu.”

Jadi perempuan bunting itu juga berhasrat akan pusaka. Ibu si gadis ikut tertawa. Tentu saja. Segalanya tidak akan berakhir begitu saja. Bahkan jika sumpah itu telah dicabut, keriuhan masih akan panjang. Tanah menggiurkan tanpa tuan akan segera diperebutkan dan mereka tidak akan pernah merasa cukup. 

“Aku tidak akan membiarkan lahan yang diperjuangkan mendiang suamiku dan mertuaku jatuh begitu saja ke tangan para sepupunya yang bermuka dua. Aku tahu mereka tidak benar-benar bersedih atas kematian suamiku. Selama ini mereka tampak selalu bersama-sama karena tujuan mereka sama--menyingkirkan suamimu.”

“Ya, tapi, kau tidak mencintai suamimu, Arimbi. Malam kematian mereka, kau memilih kemari, meratapi jasad suamiku. Aku tahu. Kita pernah tinggal bersama dalam kemegahan itu. Aku melihatnya–aku selalu melihat bagaimana kau memandang kepada suamiku.”

Perempuan itu mengelus perutnya. Ia tertawa getir. “Jika bukan karena kebodohanku, aku pasti sudah menjadi istri Mas Bagus. Tempatmu ini, dulunya pernah akan menjadi milikku. Namun sekarang, karena semua sudah terlanjur, aku pun ingin mempertahankan secuil kemegahan itu.”

Segalanya dimulai dari kata ingin, kata ibunya. Seandainya, sejak awal mereka merasa cukup dengan apa yang mereka miliki dengan tanpa menginginkan milik seseorang lainnya, mereka tidak akan mengotori tangan dengan banyak kematian yang tidak perlu. 

Lihat selengkapnya