WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #18

Perempuan Bangsawan Eropa, Siluman Ikan, dan Cinta Pertama

Bertahun-tahun kemudian, ketika ia telah tumbuh menjadi perempuan gigih dan cekatan, ucapan sang ibu tetap jernih, mengendap di dalam ingatan. Saat itu ia, seperti yang selalu diyakininya, telah pergi, meninggalkan gadis itu seorang diri, setahun sejak kalimat itu didengungkan.

Arimbi kemudian mengangkat diri menjadi walinya. Ia memperjuangkan gadis itu hingga berdarah-darah setelah sang ibu tenggelam di dalam sumur. Ia menyembunyikan gadis itu di padepokan di tepi hutan, tempat sang ibu meronce kembang dan berguru pencak silat sewaktu kanak-kanak–ketika para paman berebut untuk menjadi walinya, entah apakah pada akhirnya mereka akan menyingkirkannya atau memang benar-benar berniat mengasihinya.

Saat itu, tetua satu-satunya, telah bungkuk dan menghabiskan sisa hidupnya yang tipis di atas dipan sembari merintih-rintih. Ia tidak lagi menghitung-hitung luas lahan. Sakitnya sakaratul maut tidak bisa ditawar dengan sejengkal atau dua jengkal tanah pusaka. Barangkali, para arwah saudara sedang menunggunya meregang nyawa sembari tertawa.

Perempuan itu baru saja melahirkan. Bayinya perempuan. Namun, Iswan sudah cukup besar untuk mengerti segalanya, untuk bisa diandalkan. Bersama sang ibu ia mencoba menghancurkan para paman dengan beragam jebakan. Namun, tanpa perlu mereka bersusah-payah, para lelaki pongah nan bergairah itu pada dasarnya memang telah tergila-gila dengan aroma ketiak para penari dan perempuan rumah bordil dan selalu bertaruh di meja judi.

Dengan dicabutnya sumpah oleh tetua, perilaku para keturunan kedua itu menjadi leluasa dan tersingkaplah tabir penyamar malu. Setiap saat mereka merasa perlu untuk menghamburkan uang, mereka akan menjual lahan–sepetak demi sepetak. Mereka kemudian mewariskan tabiat itu kepada generasi ketiga, yang tangan-tangannya terlalu gemulai untuk membajak lahan atau menggergaji pohon atau menggenggam lumpur sawah. Mereka adalah pewaris ladang tetapi tidak diberitahu cara menumbuhkan tanaman. Saat mereka menyadari ketololan kolektif itu, sebagian besar lahan telah jatuh ke tangan orang dan mereka tak lagi mampu mendatangkan para lelaki bertubuh besar. Mereka kalah, dikejar lintah darat, dan tersia-sia, hanya dalam waktu singkat. Dua orang dipasung karena meresahkan warga dengan amuk yang setiap hari mereka pamerkan sepanjang jalan setelah istri dan anak-anak mereka melarikan diri. Seseorang lainnya menyepi, berpamitan mencari pesugihan ke Alas Purwo, tetapi tak pernah kembali. Dua orang lainnya bertaubat lalu merantau, dengan harta yang tersisa. Ada pun para generasi kedua lainnya, yang waktu itu masih terlalu lugu untuk terlibat kekejian masa lalu dan setelah bertumbuh pun tidak berminat bergabung dalam barisan pencaplokan pusaka–mereka juga telah menua, seperti perempuan itu. Mereka juga melahirkan para generasi ketiga dan masih menyandang nama Dharma Gumilar. Meskipun nama itu semakin redup dan kebanggaannya susut.

Ada jarak, dinding kokoh dan tinggi, yang membatasi keakraban mereka. Mereka tidak lagi seperti generasi pendahulu yang kerap mengadakan perkumpulan. Mereka saling memalingkan muka, seakan sikap itu dapat mengikis sejarah keluarga yang suram. Mereka ingin lupa ingatan akan peristiwa kelam yang memalukan dengan tidak perlu banyak bersua--seakan, sedikit saja perjumpaan akan kembali membuka lontar ingatan yang ingin dibuang.

Dyah Menur dijemput Iswan saat umurnya dua belas. Pemuda itu membawa kijang buaya berwarna hijau tua. Bak mobil itu menampung tebu dan potongan kayu-kayu gunung juga sekeranjang ikan sungai dan peralatan pancing.

“Sudah saatnya,” kata lelaki itu.

Dyah Menur pulang membawa peti perunggu yang dititipkan sang ibu kepada ketua padepokan sejak ia balita, saat firasatnya tentang kehancuran besar berdengung-dengung di kepala.

Terakhir kali bertemu Iswan, umurnya menjelang delapan. Lelaki itu memberinya katapel sesaat setelah ia pulang dari sungai dan mendapati sang ibu terbaring dikerumuni orang-orang di samping sumur. Mereka bilang ibunya bunuh diri.

“Apakah benda ini dimaksudkan untuk menghibur?”

Iswan bilang benda itu untuk memburu tupai atau ya, bisa juga dipakai untuk melindungi diri.

“Tapi Ibuku memberitahuku untuk menggunakan sajam.”

“Kau bisa mengantongi benda itu dan tetap bisa menggoyang sajam.”

“Ya,” kata Menur.

Saat itu ia bersembunyi di belakang rumah. Ia berusaha menutup telinga dari suara orang-orang yang membicarakan sang ibu, menyayangkan sikap putus asa janda perempuan itu. Ibunya sedang berusaha memenangkan semua pertarungan atas hidupnya. Untuk apa dia putus asa. Ibunya mungkin selalu berpikir kelak dia akan mati. Ya, semua orang juga memikirkannya. Meskipun, barangkali, sang ibu memikirkan kematian lebih sering daripada manusia lain. Namun, tentu saja, tidak secepat itu dan tidak dengan cara itu. Ibunya belum mengajarkan banyak hal. Semua itu begitu mustahil. Namun ia tidak mengerti.

Ia belum mengkhatamkan pelajaran bab kepahitan hidup. Ia masih belum mampu menahan rasa pahit ditinggal mati, sekali lagi, oleh orang yang ia cintai.

“Kau tidak perlu mendengarkan semua perkataan Ibumu,” kata lelaki tanggung itu.

“Kau bicara apa?”

“Kau boleh tetap menangis biarpun dunia ini sudah menggigitmu jutaan kali dan berencana menggigitmu lebih banyak lagi.”

Lalu lelaki itu pergi dan--ya, sembari menggenggam gagang katapel, gadis itu menangis sejadi-jadinya.

Mereka lebih banyak diam sepanjang perjalanan yang lamban dan kaku itu. Sesekali ia mencuri pandang lelaki di sampingnya yang telah tumbuh begitu mengagumkan. Ia memakai kaos tanpa lengan berwarna putih, dipasangkan dengan celana lonceng hitam. Rambutnya dicukur rapi. Matanya menatap lurus ke jalanan. Ada cambang halus di garis rahangnya yang tumbuh hingga bawah daun telinga.

Perempuan itu merasa tak nyaman. Hatinya bergetar. Lalu ia lebih banyak melihat ke samping, kepada pohon-pohon, untuk mengalihkan kecamuk di dalam diri. Lelaki itu adalah satu-satunya penyembuhnya, hanya dengan membayangkan wajahnya saja, ketika tubuhnya merasakan remuk redam oleh latihan silat yang bertubi-tubi dalam padepokan.

“Apa kabar?” kata lelaki itu, tanpa menoleh.

Perempuan itu mengangguk, ya, baik. Ia mengembalikan pertanyaan itu kepada si lelaki dan lelaki itu membalas sama pendeknya. Lalu selesai. Mereka diam selama kurang lebih lima jam perjalanan, membelah hutan yang dikelilingi rimbun pinus dan perdu-perduan.

Lelaki itu membawanya kepada Arimbi. Perempuan itu telah meninggalkan rumah mendiang suaminya dan membeli sebuah rumah yang pemiliknya pindah ke Bali. Rumah itu, dulunya, ia ingat hanya sepetak dengan tembok putih yang luntur. Empat tahun berlalu dan rumah itu telah mengembang dan mekar dengan indah dengan pagar yang sangat menjulang. Pagar itu dibuat dari teralis garis yang rapat berwarna hitam dengan dinding pagar berupa semen bata yang ujungnya ditanami retakan gelas dan kaca dan kawat duri. Benda-benda itu telah menjelaskan upayanya melindungi diri. Rumah itu tampak tidak ramah dan mengucilkan diri. Letaknya di tepi perkebunan kelapa mendiang suaminya. Untuk melihat rumah tetangga, di pemukiman yang agak padat, jaraknya kurang lebih lima ratus meter. Namun, bangunan itu bukan tipikal rumah yang memerlukan tetangga.

Dua anjing besar menggonggongi kijang yang ditumpanginya dan Iswan ketika seorang penjaga membuka gerbang. Turun dari mobil, ia disambut seorang perempuan yang seketika menunduk, meminta ijin untuk membawa tas-tasnya. Seorang lelaki menghampiri Iswan, bertanya akan diapakan kayu-kayu dan tebunya. Lelaki itu mengatakan agar membiarkan saja muatannya di bak mobil. Ia akan mengirimnya kepada seorang saudagar di kecamatan.

Perempuan itu menunggu mereka di ruang tamu, duduk di atas sofa sembari menyulut sebatang cerutu. Ia menua, tetapi termaafkan dengan kulit wajah yang tampak bercahaya. Rambut perempuan itu disemir pirang, bergelombang, dan pendek sebahu. Ia memakai gaun cokelat berbintik-bintik putih. Di wajahnya, tepatnya di pipi kanan, ada titik hitam yang kontras dengan warna kulitnya. Itu adalah tahi lalat palsu yang ia bikin dengan pensil mata. Di atas meja, ada tumpukan majalah yang memajang model pria asing. Di ujung ruangan itu, piringan hitam berputar melantunkan lagu-lagu klasik barat. Menur tertegun menyaksikan rupa benda dan manusia di dalam ruangan itu. Untuk sesaat ia merasa ia sedang tersesat di dalam rumah seorang Noni.

“Kau tumbuh sangat cantik,” kata perempuan itu, yang dulu begitu terburu-buru mendesaknya, meminta dijadikan sebagai wali, sewaktu para paman mencoba merayu mengajaknya tinggal bersama.

Ia seorang perempuan dan para paman bilang ia tanggung jawab mereka setelah ibunya tiada. Namun, Arimbi segera memperlihatkan surat wasiat yang ditulis ibu si gadis kepada mereka. Bunyinya: bahwa perempuan itu menyerahkan hak asuh kepada Arimbi dan bukan kepada orang-orang yang pernah bersekongkol menghancurkan keluarganya.

Dyah Menur kemudian memilih Arimbi, sang bibi.

Anak-anak pun bisa merasakan siapa penjahatnya, kata perempuan itu bangga. Ia telah memenangkan kuncinya.

Beberapa waktu kemudian, setelah sang ibu dimakamkan, perempuan itu mengatakan akan mengamankan si gadis ke sebuah tempat yang diwasiatkan sang ibu apabila suatu saat segala sesuatu menjadi pelik dan tak terduga.

“Kalau Ibumu masih hidup, dia pasti akan kagum melihatmu.”

Lalu seorang gadis kecil datang dari teras menghambur ke dalam pelukannya. “Ibu,” katanya.

Jadi dialah benih yang didapat di rumah bordil, malam ketika kematian suaminya dan kemudian menyandang nama belakang Dharma Gumilar begitu mudahnya.

Perempuan itu mencium pipi anaknya, meninggalkan bekas kecupan dari pemerah bibir yang merah menyala.

“Iswan sudah memberitahumu, bukan?”

Menur menoleh pemuda yang terus menunduk di hadapan sang ibu. Kemudian ia menggeleng.

“Kau--kalian akan menikah secepatnya.”

Gadis itu tidak terkejut. Ia pernah mendengar percakapan antara perempuan itu dan ibunya yang membahas pernikahan mereka di masa depan untuk menyatukan kekuatan. Hanya saja, saat itu, kekuatan satunya telah hilang, sehingga segalanya berpusat kepada Arimbi seorang.

Perempuan itu memiliki pertahanan diri yang baik atas pertarungan lima sepupu ipar. Dan sejak kematian ibunya, Arimbi mengelola sekaligus dua pusaka dari dua tetua. Tujuh puluh hektare dari eyang tua dan sepuluh hektare dari mertuanya. Ia menjual separuh milik mertuanya untuk ditukar dengan kemegahan rumah itu. Ya, tidak ada yang meragukan, betapa perempuan itu bergelimangan.

“Pernikahan ini adalah wasiat Ibumu juga.”

Perempuan itu, Menur yakin, selalu menghabiskan waktu duduk di sana sembari mengisap cerutu dan menyesap sampanye dan tangannya membolak-balikan majalah yang menampilkan bulu di dada para pria, sementara para pekerjanya memetik buah-buahan yang tak akan pernah habis di lahan dan jika ia merasa kekurangan uang untuk bersenang-senang, ia akan menggadai tanah, dan saat tak bisa membayarnya ia akan melepas lahan-lahan itu begitu saja. Semua itu membuat hatinya ragu dan bertanya-tanya. Namun, perempuan itu selalu meyakinkan si gadis bahwa ia adalah orang baik yang menyelamatkannya dari tangan paman-paman yang bisa saja langsung menjualnya setelah mendapatkan sertifikat--atau bahkan membunuhnya. Gadis itu sangat berutang budi padanya.

“Oh, ya, kau bawa sertifikat itu bersamamu, bukan? Jadi di mana selama ini Ibumu menyembunyikannya? Mulai sekarang, kau bisa menitipkannya padaku agar aman.”

Dari pertanyaan itu, ia mengetahui waktunya membalas budi akan segera tiba dan jenis balas budi apa yang akan perempuan itu minta. Kemudian gadis remaja itu menggeleng. “Ibu bilang seseorang akan datang membawakan surat-surat itu saat umurku dua puluh tiga.”

Perempuan itu tertawa. “Bagaimana bila orang itu menipu Ibumu? Saat itu datangnya masih lama sekali."

Lihat selengkapnya