Aku lahir dari ketidaksengajaan yang ingin ditiadakan ibu--perempuan yang dihajar kehidupan berkali-kali itu. Saat ibu mengetahui dirinya mengandung anak dari seseorang yang pernah mencumbu perempuan ikan di tepi kali, seketika itu juga ia mengupayakan segala cara untuk menggugurkannya.
Saat itu mereka telah keluar dari bangunan gagah yang berpagar menjulang. Rumah itu disita bank. Segera nama Arimbi dan Iswan buruk di lembaga keuangan mana pun dan mulut orang-orang. Semula Iswan ingin membangun baru, yang lebih wajar untuk orang yang baru saja kehilangan tanah berhektar-hektar. Namun, Menur enggan. Ia meminta Iswan membantunya membenahi rumah pengganti Joglo sinom yang telah lama ditinggalkan. Pondasi rumah papan itu masih kokoh. Mereka akan menghemat banyak biaya, selagi lelaki itu mengumpulkan uang untuk mengambil lagi rumahnya–jika ia masih punya waktu dan tidak mendadak meninggal.
Iswan bilang, ya, untuk tinggal di rumah itu, asalkan Menut akan baik-baik saja, kendati Arimbi terus menggerung. Sejak lumpuh, perempuan itu cuma tahu menangis.
Dyah Menur pernah sekali ke sana, seminggu setelah kepulangannya dari padepokan. Namun, langkah kakinya tertahan di kejauhan, di bawah naungan pohon rambutan. Sebab segera, gambar-gambar itu berjalan, merekah dari ingatan kelam.
Pada kali kedua berkunjung, ia telah cukup berani. Ia mengusap dinding rumah itu yang berlubang-lubang dimakan serangga. Atap sengnya penuh karat dan rapuh. Lalu ia mendatangi makam eyang tua yang bertanda batu besar. Saat itu seminggu sebelum resepsi pernikahannya dengan Iswan. Kepada eyang tua ia bercerita bahwa ia akan menikahi pemuda yang telah menjadi bunga tidurnya selama bertahun-tahun, sejak ia menjejakkan kaki di padepokan di tepi hutan.
Lalu, bertahun-tahun kemudian, pada hari pertama ia kembali menempati rumah itu yang dindingnya berbau menyengat oleh cat baru, ia kembali menyambangi makam, menabur cempaka, kembang kesukaan eyangnya, tanpa mengutarakan sepatah kata. Ia yakin eyang tua sudah tahu semuanya. Apa pun tentang pernikahannya.
Sejak awal berdiri, rumah itu kokoh hanya pada bagian pondasi, selebihnya, papan pohon kelapa dan jati muda mengeropos seiring waktu, tanpa sentuhan tangan selama bertahun-tahun. Menur tidak membangun rumah yang bermegah-megah. Dua kali ia menghuni bangunan indah, dan dua kali pula bangunan itu direnggut nasib buruk. Meskipun bangunan kedua yang bergaya Eropa itu milik Arimbi, tetapi itu sudah cukup memberinya pelajaran.
Rumahnya berdiri seperti kebanyakan rumah orang-orang di desa itu. Bentuknya L dan celah lantai antar keramiknya dipoles dengan campuran semen dan bubuk karbon baterai. Lantai dapur masih berupa coran semen dengan komposisi kerikil yang mendominasi–menjadikan lantai itu bergerindil dan kasar saat dipijak tanpa alas kaki dan rontok saat disapu. Di pojok kanan dapur, ada tungku empat lubang dan dua kompor minyak tanah. Di pojok kiri bawah, adalah tempat cuci piring dari adonan semen yang lebih halus, yang diberi tepi setinggi telapak tangan. Ada sebuah gentong plastik merah di sana. Lalu tiga ember wadah air untuk membilas piring setelah digosok dengan sabun yang dicampur abu dari tungku. Perempuan itu memakai sabut kelapa untuk mencuci perkakas dapur.
“Kalau perempuan itu mati,” kata Dyah Menur, “tuntaslah balas budiku. Kau boleh pergi mencari siluman ikanmu. Aku akan mengganti biaya kerja kerasmu membenahi rumah ini. Ibuku, di langit sana, pasti akan memahami bahwa perjodohan ini tidak berhasil. Kelak, sebaiknya kita tidak bersinggungan lagi.”
Iswan bilang, ya, asal perempuan itu baik-baik saja.
Perempuan itu menempati kamar mendiang ibu Dyah Menur. Lalu, sepasang suami istri itu tidur di ruang terpisah. Iswan di kamar belakang, bersebelahan dapur, sementara istrinya di kamar tengah. Ia meletakkan lonceng di atas meja yang terhubung dengan jari kelingking kanan perempuan itu--satu-satunya anggota tubuh yang bisa digerakkan. Pada hari-hari awal, lonceng itu berbunyi sepanjang waktu–perempuan itu tidak tidur. Maka Dyah Menur pindah tidur ke kamar perempuan yang tampak selalu ketakutan itu.
“Apakah kau tidak lelah menangis terus?”
Saat itu sore. Dyah Menur membuka kancing baju perempuan itu. Ia kemudian menyeka kulit dadanya yang mengendur, lalu terus ke lengan hingga ke leher. Kulit bercahaya milik perempuan itu yang ia lihat sepulang dari padepokan, telah meredup sejak sakit. Kulit di sekitar tulang ekornya luka karena terus-menerus berbaring.
“Dulunya ini kamar Ibuku. Sebenarnya aku merasa tak nyaman berada di sini. Ini murni karena kenangan dan impian kami yang tidak tuntas. Bukankah seharusnya kau senang? Kalian pernah bersama–sama melakukan banyak hal dulu. Dengan tidur di sini, barangkali kau akan merasa ditemani. Sudah, berhentilah menangis. Anak perempuanmu itu pasti sedang bersenang-senang atau malah bagus jika sudah bertemu bapaknya."
Ia lalu mengusap wajah Arimbi dengan handuk yang diberi air sabun beraroma buah-buahan. Mulut perempuan itu mengeluarkan suara. Ia hendak berbicara. Namun, suara yang keluar justru persis suara orang mengejan.
Ia telah selesai memandikan Arimbi. Sebagai polesan akhir, ia mengusap wajah itu dengan spons yang ditambahi bedak tabur.
Perempuan itu terus menggerakkan loncengnya saat Menur tidak di sisinya. Bibirnya berusaha keras membuka, kendati sia-sia. Arimbi selalu dalam keadaan merintih setiba ia di sana.
“Kau tak betah, ya. Kasur di rumah ini cuma berisi ampas randu dan berdebu. Beda seperti di rumahmu dulu. Kita sedang jatuh miskin sekarang. Rumah itu diambil bank. Ini memang tak nyaman, tapi lama-lama kau akan terbiasa.”
Akan tetapi, perempuan itu, yang berak dan kencing di atas perlak dua kali sehari, yang makan sari bubur beras lewat sedotan, masih juga menangis setiap kali perempuan itu pergi untuk beberapa saat.
Hari-hari itu, Iswan memandori proyek-proyek perkebunan, mengurusi tanah yang akan dikontrakkan, bernegosiasi dengan orang-orang, dan mengurus hibah lahan untuk lapangan, jalan baru, rumah ibadah, dan perluasan makam sesuai kehendak mendiang ibu Menur. Lelaki itu kerap pulang larut dengan alasan bersilaturahmi ke rumah ketua RT, lurah, camat, dan para tokoh masyarakat untuk mengurus perijinan dan perjanjian. Namun setelah semua itu selesai ia masih tetap pulang larut kendati segala urusan mendekati rampung. Ia bilang melepas lelah dengan memancing saat Menur bertanya ia kemana. Perempuan itu mengaku tak lagi peduli, apakah ia memancing siluman atau ikan, asal ia mengendalikan semua uang dan lelaki itu rela menjadi kuda perah atas nama ibunya. Mendengar rintihan Arimbi dan mengusap air matanya saban waktu sudah cukup melelahkan bagi Menur. Tidak perlu lagi berlarut-larut memikirkan apa yang dilakukan lelaki itu di luar rumah. Ia sedang menahan diri dari amarah yang tak perlu.
Hingga kemudian, tiba hari saat perutnya berkedut-kedut. Ada yang tumbuh di sana. Ia merasakannya. Kemudian ia mondar-mandir menunggu Iswan di teras, mengabaikan Arimbi yang menggerung-gerung. Rasa-rasanya ia juga ingin meraung.
Lelaki itu muncul di pekarangan pada pukul tiga pagi. Ketika membuka pagar bambu, seketika ia disambut lemparan panci. Benda itu melayang mengenai dadanya.
“Aku bunting! Aku bunting! Demi Tuhan!”
Iswan mengambil panci dari permukaan tanah, lalu berjalan mendekati sang istri. Ia merangkul bahu perempuan itu, mengajaknya masuk.