Hidup--ia membuatmu mati-matian bekerja, lalu kau melihat ke belakang, saat kau sadar semua impian telah gagal, saat itu kau sudah sangat terlambat. Hidup tidak memfasilitasi jalan putar balik. Kau diminta terus maju, antara lajur kanan, kiri, tengah–atau diam lalu tertabrak ketergesaan yang mengantre di belakang punggungmu. Dia tidak memberimu pilihan yang menyenangkan.
Ibu bilang, ia tak ingat punya impian. Seseorang juga tidak pernah menyarankannya untuk menjadi cenayang atau bertanya apakah kau mau menjadi pelanggam saat besar. Waktu umur enam, orang-orang memberitahunya agar bertahan dari keadaan tidak menyenangkan. Mereka tidak pernah bertanya bagaimana perasaannya.
Apakah pergi ke sendang di kaki gunung bersama bapaknya itu bisa disebut impian?
Ya. Kubilang.
Namun dunia sudah menjegalnya sebelum piknik itu terlaksana. Katanya.
Tidak ada yang membatasi manusia untuk memiliki cuma satu mimpi. Balasku.
Ibu pernah sangat ingin jadi Nawang Wulan. Itu juga impian? Ia bertanya.
Apa yang menyenangkan dari menjadi bidadari lugu yang ditipu pemuda itu?
Dia bisa mengubah satu butir beras menjadi satu periuk nasi. Katanya.
Ya. Tentu saja. Itu sangat ibu.
Kemudian aku (lagi-lagi) protes, kenapa ia tidak gantian bertanya apa inginku yang paling besar.
Saat itu kami duduk di hadapan cermin. Ibu merapikan rambutku dengan sisir yang dicelup ke dalam minyak kelapa. Ia mendandaniku, memintaku ikut menghadiri resepsi pernikahan tetangga untuk menunjukkan kepada orang-orang aku adalah perawan yang siap dipinang. Ia menceramahiku bahwa memiliki banyak ingin adalah salah satu bentuk keserakahan. Menerima yang ada di depan mata adalah perilaku yang mencerminkan keagungan budi pekerti.
Kenapa ia tidak bertanya saja dulu. Kataku.
Ia takut impianku adalah sesuatu yang tidak ingin ia dengar.
Perempuan itu menyapukan lipstik ke bibirku dengan ujung korek kuping. Warnanya merah menyala. Aku memerhatikan wajahku di dalam cermin. Alis yang digambar ibu dengan penuh ancaman itu miring dan panjang sebelah. Hitam, tebal, dan tidak simetris seperti lintah pacet. Bibir yang terang seperti darah--aku tidak yakin dapat mengesankan para pemuda dengan riasan semacam itu. Meskipun aku tidak berniat mengesankan pemuda manapun, bertolak dengan tujuan ibu, tetapi bukan berarti aku ingin menjadi bahan olok-olok. Namun, saat itu aku sedang tidak ingin bersitegang dengan ibu. Maka aku diam saja. Aku akan membenahi wajahku setelah perempuan itu keluar dari kamarku.
Ya, ada. Impian terbesarnya–ia ingat. Katanya, tiba-tiba. Impiannya waktu remaja dan sepertinya merupakan impian satu-satunya. Ia ingin menikahi bapak.
Aku tidak bertanya apa pun lagi. Aku sudah tahu apa--dampak dari keinginan masa remaja itu terhadap kehidupannya. Sebelum kami berangkat, ia mengatakan, bahwa itulah alasan ia ingin mencarikanku pasangan yang ia pastikan tidak mengecewakan. Ia akan menyortir para pemuda yang datang meminangku nanti, yang paling cakap dan tidak plin plan dan tidak lambat. Ibu berpikir seakan aku putri mahkota yang akan diperebutkan para pangeran.
Tentu saja, katanya. Aku mewarisi puluhan hektare tanah dan dia menyumbang dua lapangan bola di desa dan dua masjid dan satu pura dan satu gereja protestan.
Ia--semakin jauh dan kukira ia tidak memahami bahwa manusia sangat kompleks. Seperti semesta, mereka mengembang terus-menerus. Siapa yang akan menjamin orang baik yang ia lihat itu masih akan baik pada hari berikutnya?
Orang tidak berubah secepat itu. Kecuali mereka memang sengaja menipu. Katanya.
Ibuku menjadi lebih giat bepergian. Ia bertemu orang-orang, bertukar cerita, dan mengatakan bahwa anaknya sudah perawan. Namun tidak semua cerita itu enak didengar. Ia diberitahu, seseorang jatuh di kamar mandi lalu meninggal. Lalu ia menjadi sangat takut pergi ke kamar mandi. Pada satu waktu aku menemukan ia berjongkok di bawah pohon kopi. Aku tanya apa yang sedang ia lakukan. Ia bilang lantai kamar mandinya licin. Maka ia menjadikan tanah di bawah naungan dahan kopi sebagai tadah hajat besarnya. Lalu ia menggenggam kotorannya dengan kain serbet lalu melemparkannya ke comberan lalu ia membawa lap itu dan mencucinya di pancuran di samping sumur. Tempat kami biasa mencuci perkakas sawah atau diri setelah bercengkerama dengan lumpur dan tanah.
Demi Tuhan. Ibu. Siapa yang akan berbesan denganmu?
Aku menggosok lantai kamar mandi berulang-ulang, setiap saat, untuk memerlihatkan padanya bahwa lantai coran kerikil itu sangat kesat. Akan tetapi, ibu tidak mau ke kamar mandi hingga ia bosan dan berganti jenis ketakutan baru–ketika seseorang yang ia temui di pasar menyampaikan duka bahwa seorang nenek jatuh dari boncengan cucunya dan dilindas truk gandeng di jalan besar kecamatan.
Ibuku uring-uringan, memintaku libur sekolah, karena jalanan itu tidak ramah. Ia tidak mau lagi duduk di jok motor di belakangku. Ia tidak mau ke pasar. Ia bahkan memiliki pikiran jika pada suatu waktu, sebuah truk akan lepas rem dan menabrak rumah kami.
Itu tidak akan terjadi, kataku. Kami jauh dari jalan raya. Jalan di depan, belakang, dan samping rumah adalah jalanan setapak orang-orang yang membawa sepeda atau motor menuju atau pulang dari sawah. Kalaupun sebuah truk masuk, jalanan itu akan sangat sesak dan truk itu akan berhati-hati atau akan tersangkut dahanan bambu dan mahoni atau yang paling buruk, terselip di bantaran kali. Dan itu bukan truk gandeng. Truk itu tidak lewat jalan raya desa. Lalu dari mana datangnya truk gandeng yang lepas kendali itu?
Tidak ada yang tahu kejutan apa yang akan diberikan hidup. Bisa saja langit akan menimpakannya sewaktu-waktu--truk gandeng itu. Kata ibu.
Ya, tentu saja, bahwa selain membawa pulang sampah milik orang lain, ibu juga mengembangkan ketakutan tidak wajar dari apa yang ia dengar. Itulah kejutannya.
Aku pernah bertanya pada bapak, apakah sudah saatnya membawa ibu berobat. Bapak bilang sudah pernah mengajaknya, berkali-kali, tetapi ibu menolak. Itu terjadi sejak usia pernikahan mereka masih sangat muda.
Ia bilang ia sangat sehat dan tidak memerlukan dukun atau mantri atau dokter. Ia telah hidup bersama biji mahoni selama bertahun-tahun. Cukup biji itu menjadi penolak kuman dan virus dan setan. Ia merasa sangat bugar, kendati kulitnya mengendur dan barisan uban menampakkan diri secara terang-terangan di atas kepala.
Setiap kematian di desa yang ia dengar adalah juga seperti kematian bagi dirinya sendiri. Ibu akan tersedu-sedu, memungut benda-benda usangnya, sembari berkata betapa ia akan meninggalkan mereka cepat atau lambat. Setiap kali seseorang mati, katanya, akan ada enam kematian beruntun setelahnya. Dan ia yakin, ia adalah satu di antara enam itu.
“Inas, kau akan bagaimanakan mereka saat aku mati?”
“Ibu ingin aku bagaimana?”
“Jangan ditelantarkan. Mereka akan kepanasan dan kehujanan.”
“Ya.”
“Beri mereka tempat teduh.”
“Ya”
“Jangan kau berani buang satu pun. Ibu akan bangkit dari kematian.”
“Kedengaran bagus–kau tidak jadi mati, Bu.”
“Pasti setelah ini giliran, Ibu. Aku bisa mendengarnya, Inas. Malaikat maut itu mengintip jendela rumah kita terus.”
“Seperti apa dia?”
“Hust--dia sedang melihat ke sini. Jangan bersuara.”
Semua ketakutan itu akan mereda, tiba-tiba, kapan pun ibu bangun tidur, lalu bergegas menghidupkan tungku sembari menembang lagu masa remaja. Jika begitu, kami tahu ia sudah melupakan kecemasannya.
Bapak bilang, itu karena cuma ibu yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri.
Pertengahan musim hujan, ketika angin lebih sering datang, tanah di desa kami merekah, dan dari dalam rekahan itu jamur hutan bermunculan. Subuh setelah hujan, orang-orang berbekal keranjang dan cungkil akan berduyun-duyun menyerbu kebun, menyibak dedaunan basah, dan menyusuri tepi sungai. Jamur itu juga tumbuh, terselip di sela akar-akar pohon di tepi sungai. Pada saat itu ibu akan berjaga, mengelilingi puluhan hektare kebunnya bak polisi sia-sia. Saat ia di kebun kelapa, orang-orang sudah akan menjarah jamur di kebun mangganya. Setiap tahunnya, ibu akan memaksaku untuk ikut dalam patroli yang menyenangkan kawanan nyamuk itu. Ibu akan menyuruh anjing-anjingnya menggonggong setiap kali seseorang ditemukan membungkuk, menelisik tumpukan humus di kebunnya. Lalu orang itu segera pergi ke kebun ibu yang lainnya.
Jamur-jamur itu tumbuh satu tahun sekali. Seperti harta karun, mereka diperebutkan. Dari perburuan jamur yang dimulai subuh hingga setengah tujuh pagi itu, kami akan mendapatkan empat sampai lima keranjang–bisa lebih banyak lagi saat hari libur, kami akan berburu hingga siang. Kami menyisakan dua keranjang untuk dimakan, yang lainnya ibu masukkan ke dalam kresek lalu dititipkan kepada penjaja sayur. Jika ia sedang baik, ia akan memberi kepada tetangganya sebagian. Ibu akan menumis jamur itu untukku sarapan sebelum ke sekolah. Rasanya gurih. Payungnya wangi dan batangnya kenyal lembut. Para pemuda yang merantau ke kota atau luar pulau akan pulang saat musim hujan demi memiliki satu atau dua hari untuk memburu salah satu bentuk kenikmatan surgawi itu.
Sewaktu menemani ibu patroli jamur, pada musim hujan di tahun berikutnya, aku menemukan satu pemuda yang seperti itu. Ibu menyebutnya berandalan. Saat itu aku duduk di dahan mangga. Ibu ada di belahan kebun lainnya bersama anjing-anjingnya, mengejar berandalan lainnya.
“Itu punyaku!” Aku berteriak dari atas pohon, bersiap-siap melemparinya peluru katapel dari bakal buah mangga. Ia sedang mencungkil jamur hutan yang payungnya kuning terang di antara rumpun lengkuas. Jamur itu hampir seukuran piring hadiah deterjen ibu. Aku telah menunggunya mekar sejak pertama kali jamur itu bertunas di dalam tanah rekah. Itu hari ketiga dan seorang berandalan akan mencurinya.
Pemuda itu menoleh ke atas. Ia melambaikan tangan seperti prajurit yang menyatakan kekalahan.
“Tinggalkan jamur itu di sana,” kataku.
Pemuda itu mengangguk. Kemudian ia melangkah mundur.
Aku mengucapkan terima kasih dan bersiap-siap untuk turun. Namun, tahu-tahu pemuda itu melesat dan jamur itu sudah tidak ada dan aku memutuskan untuk mengejarnya.
Ia gesit melompati batang kayu dan rumpun semak. Ia menanjak dan berkelok di turunan. Ia tertawa terpingkal-pingkal saat melihatku terengah-engah tapi tak juga menyerah.