Bersama sang anak, paman yang kehadirannya bagaikan hembusan angin neraka bagi ibu itu kemudian meninggalkan rumah kami dengan memikul raut wajah orang-orang kalah setelah diberitahu Baswara bahwa ia memiliki sebuah kapal pesiar yang mengelilingi samudera dan mampir ke dermaga semua benua, bergantian, sepanjang tahun.
“Dan delapan Vila di tebing di Bali,” katanya sembari menunjukkan barisan gigi yang rapi, serupa biji ketimun milik Danastri. Dalam primbon bab keelokan tubuh, barisan gigi itu adalah anugerah diri. Namun, Baswara mendapatkan kerapihan itu setelah diupacarai mepandes, potong gigi, oleh kedua orang tuanya saat tamat sekolah menengah pertama. Ia pernah bilang dua gigi serinya tumbuh menyalahi aturan karena ia yang selalu mengisap ibu jari saat akan tidur hingga usia tujuh. Lalu anugerah itu diupayakan.
“Dan dua galeri lukis di Gianyar.” Ia menambahkan, sembari menyisir rambutnya yang tampak semakin panjang dan berantakan dari apa yang tampak di foto yang ia kirim kepadaku beberapa waktu dulu.
Baswara mengeluarkan kartu identitas diri dari dompet, lalu meletakkan benda itu di atas meja. Ia sedikit menunduk, membacakan namanya.
I Dewa Gede Baswara.
Tidak mendapatkan tanggapan dari mereka, Baswara pun melanjutkan, “Ini bukti kebangsawanan saya. Saya anak tertua dan saya harus menikah untuk segera mengambil alih pengelolaan bisnis. Seperti kebanyakan keluarga konglomerat pada umumnya. Mungkin anda tidak asing dengan hal-hal semacam itu. Anda melihatnya di banyak serial televisi. Orang-orang tua selalu berkeyakinan pernikahan dapat menjaga bisnis dan pusaka.”
“Mereka mensyaratkan anak-cucu lelaki mereka untuk berpasangan dengan perempuan yang akan melahirkan generasi penerus yang cakap dan tekun.” Ia terus berbicara sembari memaksakan diri tertawa.
“Dan saya yakin Inas adalah perempuan itu.” Baswara melihat kepadaku sembari mengangguk mantap. “Sejak pertama bertemu, seluruh organ tubuh saya seakan berseru: hei, dialah orangnya.”
“Saya juga bermaksud membantu Inas menghidupkan tanah-tanahnya agar lebih bergairah. Tidak bisa dipungkiri. Tanah-tanah itu menjadi daya tarik yang membayangi sosok Inas. Bahkan hal itu juga yang menarik kalian datang jauh-jauh dari Kalimantan, bukan?”
Baswara lalu menggeleng perlahan, raut wajahnya memperlihatkan penyesalan. “Sayang sekali, saya dan Inas–kami ini sepasang kekasih yang teguh. Dan, ya, saya merasa–dengan segala kelebihan yang saya miliki–saya sangat pantas berada di sisinya, mendampinginya.”
Sulit dipercaya. Katanya. Lelaki renta itu menggerutu.
“Kau banyak bicara dan tampak seperti gembel,” katanya.
Baswara tertawa. “Anda tidak harus memercayainya. Kadang-kadang, dalam lamunan, saya juga sulit memercayai keberuntungan yang saya miliki ini–yang diberikan Tuhan kepada segelintir orang. Saya penasaran, perbuatan baik apa yang pernah saya amalkan di kehidupan lalu sehingga Tuhan begitu murah hati kepada saya.”
“Kau congkak, anak muda.” Lelaki itu menunjuk Baswara dengan tongkatnya.
“Begini,” Ibu menyela, menatap kepada pamannya. “Apa kau tidak lihat siapa orang yang paling tidak diinginkan berada di sini sekarang?”
Lelaki itu menurunkan tongkatnya. Baswara tersenyum lebar, memperlihatkan kebanggaannya sebab dibela sang tuan rumah.
Maka, setelah menenggak seluruh isi cangkir teh dengan tergesa-gesa, Andaru memaksa bapaknya pulang untuk membasuh malu yang telah mengotori diri mereka.
“Kau gegabah jika berencana menikahkan anak semata wayangmu dengan pemuda dari antah berantah ini.”
“Garis keturunan saya sangat jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Saya ini bangsawan,” sahut Baswara.
Lelaki itu terkekeh sembari menatap tajam kepada Baswara."Ya, tentu saja. Bangsawan.Tapi aku di sini bukan sebagai budakmu. Kita sama-sama petarung dan aku cukup hebat untuk hal-hal semacam itu."
Ia menepuk bahu ibu, kemudian meremas bahu itu dengan tangan keriputnya yang gemetar.
“Bijaklah, Menur. Kau tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, bukan?”
Lalu ia berpamitan. Ia berbalik memandang ke arah kami dengan dengki. Ia juga menyempatkan diri untuk meludah di pekarangan. Sayang sekali, sekujur tubuhnya telah menua, termasuk lidah dan mulutnya. Otot-otot di area wajah tidak mau bekerja sama dengan amarahnya sehingga ludah itu tidak kemana-mana selain mendarat di kemeja dan mengenai kancing nomor empat, tepat pada perut buncitnya. Andaru mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. Ia menyapu ludah itu dengan cermat lalu membuang kain segi empat krem itu ke keranjang sampah di sisi batang pohon randu.
“Pastikan dulu kau meludah dengan baik sebelum memutuskan untuk berkunjung kemari,” kata ibu. Ia juga menggerutu bahwa Andaru baru saja bersikap tidak sopan karena menyapu bersih isi cangkirnya.
“Aku tidak akan tahan seandainya pemuda itu menjadi menantuku.”
Kemudian, lelaki renta beserta anaknya yang memiliki ketabahan berganda dalam mengasuh bapaknya itu berlalu dari hadapan kami. Selama sekian waktu, ibu terpekur di kursinya. Begitu juga Baswara. Dan aku berada di antara mereka. Kami terjebak kecanggungan.
“Apa itu tadi?”
Suara ibu memecah kesunyian yang nyaris membikin kami seperti bunga es kulkas, beku dan mengerak. Namun pandangan ibu jauh melampaui pintu yang terbuka yang menampakkan kepada kami sebatang randu alas yang sedang bermekaran. Bunganya merah, menyebar di seluruh cabang ranting batang.
Aku dan Baswara beradu pandang. Pemuda itu mengedikkan bahu, seakan memasrahkan tanggung jawab menyahut pertanyaan ibu kepadaku seorang.
Ibu melihat kepadaku, dan dari raut wajahnya terbaca pertanyaan bercampur geram, begini: jadi kau punya pacar? Atau barangkali lebih tepat begini: jadi kau berani berpacaran tanpa sepengetahuan ibu? Begitu, kira-kira.
Aku menunduk, mengetahui bahwa secepatnya segala sesuatu akan menjadi rumit. Pertemuanku dan Baswara di kebun pada musim hujan dulu mengakrabkan kami dan dengan jarak yang berlipat-lipat, tanpa perlu melihatnya setiap hari, justru membuatku merasa nyaman berkeluh kesah kepadanya. Setelah sumur tua, aku memiliki Baswara. Terakhir kali ia menampung keluhku adalah ketika aku bercerita tentang paman ibu, pria renta yang kupanggil eyang, yang begitu tekun memyambangi rumahku, memaksakan pernikahan kekerabatan di antara dua keluarga yang pernah dan masih menyimpan luka.
Baswara adalah pendengar yang baik. Karena pemuda itu aku merasa harus pergi, sesekali, menjauh dari rumah untuk menemukan rumah-rumah lain. (Yang lebih hangat dan nyaman?)
Katanya tempat semacam itu ada banyak dan tersebar di seluruh dunia. Tidak ada yang menghalangi manusia memiliki hanya satu rumah.
“Kau anak keturunan raja?” Ibu bergantian memburu Baswara.
“Bisa dibilang begitu.” Kataku, berupaya dengan sungguh-sungguh menahan tawa.
“Putra mahkota?”