Bapak bilang, cerita ibu belum sempurna.
Hari itu, ketika ia pulang sebagai seseorang yang terkoyak di waktu magrib, tanpa henti ia menggumam kalimat itu hingga kami tiba di kamarnya. Aku membaringkannya di atas dipan. Lalu aku beranjak ke dapur, mengambilkannya segelas air hangat. Saat aku kembali, ia sudah tertidur. Posisinya miring menghadap dinding, memunggungiku yang berdiri di ambang pintu.
Saat bangun keesokan pagi, bapak sudah tidak di rumah. Aku bertanya kepada ibu, ke mana lelaki itu pergi. Sambil tetap mengipas bara tungku agar menyala, ia menyahut tidak tahu dan tak mau tahu.
Bapak kembali datang menjelang magrib. Seperti sebelumnya, ia tersuruk-suruk menggedor pintu. Saat itu aku baru tiba dari kebun. Sementara ibu tertambat di bawah naungan randu di jalan setapak menuju rumah. Buah pohon itu pecah. Kapuk berhamburan. Bukanlah ibuku, jika tidak bergegas melebarkan mulut kantong kresek, lalu meraup kapuk yang tersangkut di ranting-ranting pohon kembang sepatu dan di permukaan tanah.
Ia bilang memerlukan kapuk baru untuk mengisi ulang kasur yang mulai menipis. Kuberitahu ia punya dua karung serat kapuk yang terlantar yang ia tumpuk bersama potongan kayu bahan bakar tungku di samping rumah. Namun, ia menegaskan apa yang ia miliki masih terlalu sedikit. Ia membutuhkan banyak untuk mengisi ulang tiga kasur di masing-masing kamar. Aku bilang dua karung itu lebih dari cukup untuk menambah sesak rumah. Namun ibu mengusirku. Ia bilang aku mengganggu kesenangannya. Dan aku setuju. Maka aku berpamitan pulang terlebih dulu. Aku sudah tidak tahan berada di antara rimbun pohon dan perdu, sementara nyamuk berdengung, terbang mengitariku, berancang-ancang menyerang.
Setiba di pekarangan, aku melihat bapak menggedor-gedor pintu rumah. Ia menggumamkan kalimat yang sama. Aku memapahnya masuk. Lalu kejadian berikutnya, tidak jauh beda dengan apa yang kami alami di hari kemarin. Pada keesokan pagi, ia sudah tidak terlihat lagi. Namun kali itu, ia meninggalkan amplop di bawah keset kamar, tempat ia biasa meletakkan benda-benda yang dimaksudkan untuk menggembirakanku. Aku menemukannya saat menyapu. Aku mengangkat keset itu dan amplop itu muncul seakan berseru cilukba. Aku langsung tahu bapak adalah pemiliknya, sebab aroma tembakau yang samar menempel pada kertas itu.
Perasaanku mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan berada di dalam amplop itu. Aku ragu-ragu membukanya. Maka aku meletakkannya di laci meja belajar. Aku membutuhkan waktu untuk mempersiapkan diri dari semua kemungkinan buruk, yang barangkali akan memporak-porandakan hidupku, sekali lagi. Namun, karena rasa penasaran yang terus mengusik, aku mengintip amplop itu nyaris sepanjang waktu. Sebelum mandi, aku menarik laci, memastikan amplop itu masih di dalamnya. Kemudian aku akan mendorong laci itu masuk. Usai mandi aku melakukan hal yang sama. Aku mengulanginya hingga berkali-kali hingga aku selesai berganti pakaian dan menyisir rambut. Saat akan berangkat ke kebun, aku kembali memastikan keadaan amplop itu, dengan diliputi rasa penasaran yang membabi buta, tetapi aku juga keukeuh menolak membukanya.
Aku memikirkan benda itu lebih banyak ketimbang hal-hal lain, termasuk Baswara yang merengek, dalam pesannya, memastikan agar aku--kami saling menunggu di masa depan atau akan baik seandainya komitmen itu dimulai secepatnya. Ia telah menyatakan seluruh kebenaran yang ia tahan selama bertahun-tahun, dan ia bilang ia tak akan mundur lagi. Aku mengabaikannya. Seperti yang kuperkirakan, semua akan menjadi rumit.