Inas, anakku. Cahaya terang yang datang kepada kami tujuh belas tahun lalu. Surat ini akan memberitahumu, menggenapkan potongan kisah yang diutarakan ibumu.
Benar, bahwa saat bersama ibumu, aku juga bersama seorang perempuan. Bahkan jauh hari, sebelum pernikahan kami dilangsungkan. Perempuan itu Danastri. Dia dan suaminya adalah kawan akrabku. Kami mengenal sejak kecil. Mereka adalah orang yang membesarkan hatiku saat paman-paman ibumu melontarkan benci kepadaku bertubi-tubi sebab gelarku sebagai anak pancingan. Bahkan, paman ibumu, bapak angkatku, adalah biang kesemena-menaan mereka. Aku anak kandung seorang budak. Maaf, telah mewariskan gen pesuruh ini kepadamu. Bapakku mati kelelahan setelah membajak dua hektare ladang dua hari dua malam. Lalu, didesak eyangmu untuk menebus dosa, lelaki jahanam itu mengangkatku sebagai anak (di hadapan orang banyak). Namun, apa yang sebenarnya dia lakukan adalah memerahku, mempekerjakan tanpa upah dan belas kasih sebab statusku yang telah terangkat sebagai anak. Satu-satunya orang yang menunjukkan kebaikan adalah Arimbi, seorang juragan nyonya yang kemudian meminta kupanggil ibu. Dia adalah kebalikan dari suaminya yang laknat. Namun, kelak, jauh hari setelah seorang bayi perempuan mentas dari rahimnya, dia menunjukkan gejala kemunduran perilaku yang memprihatinkan.
Inas, cahayaku. Dalam setiap keringat yang menetes dari kulitku, aku bersumpah akan membalasnya. Dalam setiap luka cambuk dan caci maki, tiada henti aku mengutuk mereka. Dan dalam keterpurukan yang mereka ciptakan sendiri, aku mengambil kesempatan. Kuberitahu kau, Nak. Aku adalah pesakit yang melenyapkan tiga paman ibumu. Seorang paman yang ibumu ceritakan hilang di hutan, sesungguhnya telah bersemayam dalam siksaan di salah satu lahan Dharma Gumilar. Aku menembaknya dengan peluru ikan, suatu malam, sepulang dia dari pagelaran janger. Seseorang yang ibumu ceritakan gila, aku mendatangi pondok pasungnya dengan lima kobra jawa dan ratusan luwing yang menggeliat panik saat keluar dari goni. Dia berteriak minta ampun saat luwing merambati tubuhnya. Itu teriakan yang sama yang pernah keluar dari bibirku saat dia menghujani sekujur tubuhku dengan cacing dan ulat matahari. Ular-ular yang tak menemukan jalan keluar itu bertindak sebagai pencabut nyawanya. Seseorang lagi, yang pernah memaksakan delapan tomat masuk ke dalam liang pantatku–aku mengunjungi rumah pasungnya setiap hari, untuk melakukan hal yang sama. Dalam ketidakberdayaan oleh sebab kedua tangan dan kaki yang ditindih kayu besi, air mata mengalir dari pelupuk matanya hingga membasahi dada. Dia mengadu, tetapi orang-orang telah terlanjur menganggapnya gila. Dia diabaikan hingga tiba waktu kematiannya.
Inas, cahayaku. Setelah kematian ketiga paman ibumu, aku menjadi orang yang cemas dan terjaga sepanjang malam. Dendam itu belum sepenuhnya tuntas, tetapi garangku telah mengerdil, menguar. Darah dan air mata aku lihat guyub merembes dan menetes di langit-langit kamar yang seperti sebuah retakan tanah setelah gempa besar dan selalu, retakan itu akan melebar lalu menerjunkan wajah-wajah yang beraut derita itu kepadaku yang berbaring kaku di atas dipan.
Namun, itu belum semuanya.
Darah dan air mata di langit-langit kamar hanya sepenggal dari banyak siksaan. Aku telah lama mengalami sepenggal lainnya, sejak aku mendengar suara tubuh yang jatuh menimpa permukaan air di dalam sumur. Itu adalah nenek yang tak pernah kau temui. Dia didorong Arimbi, ibuku. Umur ibumu tujuh menjelang delapan saat itu.
Aku adalah saksi dari tragedi yang tak disangka-sangka siapa pun, bahkan Arimbi, hingga tiba kematiannya. Saat itu aku sedang menikmati teduh dahan mangga besar di belakang rumah ibumu. Arimbi yang tiba bersamaku di sana, meminta aku menunggu di luar karena sesuatu yang genting akan mereka bicarakan. Aku bersandar di salah satu cabang dahan sembari menggenggam katapel yang kusiapkan untuk memburu burung gereja.
Lantas, tak berselang lama, di bawah sana, aku mendengar dua orang perempuan keluar dari pintu dapur, beradu mulut tentang siapa di antara mereka yang paling dicintai Mas Bagus, kakekmu. Arimbi mengaku pernah berbaring dalam pelukan lelaki itu di kamar yang menjadi tempat tidur kakek dan nenekmu di Joglo Sinom. Cerita itu meluncur dari bibir Arimbi karena kekesalannya menghadapi nenekmu yang bersikeras ingin menyumbangkan sebagian lahan warisan lelakinya untuk desa. Arimbi bilang Mas Bagus tidak menginginkan hal itu. Dia yakin sebab dia mengaku sebagai orang yang paling tahu tentang lelaki itu bahkan untuk hal setabu bekas luka goresan parang di paha kanan dalam.
Nenekmu berang. Arimbi semakin giat mengipas arang. Dia menertawakan keluguan nenekmu. Cinta pertama, katanya, tidak akan gugur dan berlalu begitu saja dengan kedatangan cinta-cinta berikutnya. Dia yakin dia kekal di dalam hati Mas Bagus.