WARISAN KUSUT

Indah Fai
Chapter #24

Ibu dan Jatah Minumnya

“Aku menceboki pantat perempuan itu setiap hari,” gerutu ibu. Saat itu hampir tengah hari, ibu menuntun sapinya masuk ke kandang, sembari sesekali memecut pelan pantatnya agar bergegas.

Ibu memilih itu sebagai kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya setelah diam sekian lama. Kukira, melihat perangainya yang wajar, ia telah lega dan menggulung kebenaran itu hingga ciut dan tak terbaca lagi dalam ingatannya. Namun, ya, tentu saja itu mustahil. Bagaimana bisa kau duduk manis, menjalani kegiatan sebagaimana biasa, sementara kau baru saja mengetahui ibumu mati dibunuh mertuamu? Aku bisa mengerti, sebab aku mengalami perasaan ganjil yang sama setelah mengetahui Danastri adalah ibu susuku. Meskipun porsinya tidak sebesar milik ibu.

Sejak awal, amplop itu memang bukan untuk disampaikan kepada ibuku.

“Kotorannya pernah sangat keras dan aku mencungkilnya keluar dengan jari tanganku,” katanya, sembari menyekop tumpukan tahi sapi kering ke dalam karung. Esok sore, seorang langganan pupuk kandang akan mengambil tahi-tahi itu.

“Aku membasuh tubuh dan wajahnya pagi dan sore hari,” kata ibu saat membilas lumpur kaki di pancuran, sepulang dari sawah. Ia menggunakan batu kali berpori untuk menggosok lumpur yang tebal dan bebal.

“Aku menyuapinya bubur sejak dia lumpuh sampai menjelang ajalnya,” kata ibu saat melihatku menyendok nasi.

“Aku menembang macapat agar dia berhenti menangis sampai aku tertidur di sisinya.” Ibu dan aku sedang menonton siaran berita tentang seorang lelaki yang bunuh diri karena terlilit utang.

“Aku membersihkan perlak tidurnya dari bau pesing setiap pagi–dan sarung bantal dan sprei-sprei,” kata ibu sembari membolak-balikan tumpukan baju kotor, mencari tiga keping logam seratus rupiah, kembalian dari warung yang lupa ia sisihkan dari kantong.

“Aku melakukan semua itu hampir setahun sampai air mata dan napasnya kering.” Ibu memijit-mijit kepalanya. Ia bilang ia sangat pusing beberapa hari terakhir. Ia akan tidur lebih awal. Saat itu malam sehabis isya’. Ibu memintaku memastikan pintu dan jendela telah dikunci rapat dan berpesan agar aku jangan terlalu lama menonton televisi, sebab kasihan jika tabung kotak itu sampai kepanasan.

“Dan jangan kau bukakan pintu lelaki itu.” Aku tahu yang ia maksud adalah bapak. Ibuku tidak akan mau menyebut nama orang-orang yang menjadi biang luka hidupnya. Tujuh belas tahun hidup, aku tidak pernah dengar ia mengeja nama bapak.

Keesokan pagi ibu kepayahan bangun. Ia berjalan merambat dinding. Aku bermaksud membantunya sampai ke kamar mandi, tujuan utamanya. Namun ia memakiku karena memperlakukannya sebagai seorang jompo. Ia menepis tanganku. Lantas aku berjalan membuntutinnya dalam setiap aktivitas yang ia kerjakan saat itu. Ia berkeras diri seakan ia baik-baik saja. Namun, merasakan sendiri tangannya bergerak sangat lambat dan tidak berdaya mengangkat benda-benda, ia mendadak histeris.

“Bodoh sekali. Bodoh sekali.”

Ia melempar sekeranjang bawang merah karena satu buah bawang yang menguji diri yang selalu tergelincir dalam genggamannya, sementara pisau di tangan kanannya turut bergoyang senada dengan gemetar badannya.

Aku yang saat itu menjaga jarak darinya lantas mendekat. “Ya, Bu. Akhir-akhir ini, semua benda di rumah ini memang cenderung bodoh dan tidak cakap. Haruskah kita menghirup udara pasar sambil mencari-cari yang lebih baik?”

Ibu bilang itu ide yang buruk. Ia akan mempertebal ketabahannya, menunggu hingga suatu saat benda-benda di rumah kembali seperti sedia kala.

“Kita tidak perlu ke pasar. Kita jalan-jalan saja. Siapa tahu ada pisau atau parutan yang merintih di tepi jalan yang minta kita pungut.”

Ibu mengangguk setuju.

Kubilang, “Banyak pohon randu yang sedang pecah buah sekarang. Kita akan gembira setelah keluar dari rumah.”

Aku menggamit lengannya. “Bahkan tulang-tulangku tidak mau bekerja dengan baik akhir-akhir ini. Rasanya seperti remuk redam. Bolehkah aku berpegangan padamu?”

Ibu tidak menyahut. Maka aku bergegas memapahnya berdiri. Kami saling menggamit. Aku mengantarkannya ke kamar untuk bersiap.

Di atas meja di samping dipannya, ada satu kresek biji mahoni yang tampak kumal berdampingan dengan kaleng biskuit bekas yang menjadi wadah bagi jarum dan benang jahit dan sebungkus roti bluder yang telah ia makan separuh. Kresek kumal itu terbuka, menampakkan isinya yang bulat pipih. Sejak aku kanak-kanak, posisi meja itu tidak pernah berubah, begitu pula dengan benda di atasnya.

Ibu menyarankan agar aku rutin menelan biji mahoni untuk mengembalikan kegesitan tulangku yang remuk redam. Aku menyahut ya. Kendati aku tidak mengingat kapan terakhir kali aku menelan biji-biji pahit itu. Kukatakan agar ia mengurangi porsi biji pahit itu menjadi satu atau dua minggu sekali. Ia menua, begitu juga ginjalnya.

Ia menyahut justru biji pahit itu membuatnya awet muda.

Saat akan keluar dari kamarnya, aku mendengar ia berkata, “Perempuan yang membunuh ibuku itu, aku mengusap air matanya setiap hari. Bodoh sekali. Bodoh sekali. Air mata dosa. Astaga. Air mata pendosa.”

Lihat selengkapnya