Dada dengan jaket kulit hitam kecokelatan itu masih menjadi tempat terbaikku meluruh nyeri yang datang secara berkala setiap saat tanggal kematian ibu mendekat atau jika mendadak kecemasan menyergapku dari segala sisi.
Kepadanya aku selalu bertanya apakah aku persis ibuku?
Ia mengatakan ya. Sangat hebat.
Ibuku orang dengan banyak trauma. Sahutku. Seperti bawang merah, setiap lapisan hidupnya mengandung duka dan menguras air mata.
“Kau melewati semuanya, Inas. Lihatlah. Kau begitu hebat. Begitu juga Ibumu. Ia melewati semuanya.” Ia lantang sekali mengucapkan kalimat itu, kapan pun ia memiliki firasat aku sedang terjebak ingatan ibuku di masa lalunya dan membawa serta ingatan itu kini.
Tiga tahun berlalu sejak kematian ibu dan ia rutin mengunjungiku di masa cutinya--masih dengan kebulatan tekadnya agar kami menua bersama. Namun, ia selalu sudah tahu jawabannya. Semua ini sangat sulit bagiku. Setiap saat ia berbicara tentang hubungan romantis, mendadak aku akan membayangkan diriku sebagai tokoh perempuan yang terlunta-lunta mencintai suaminya yang tidak berbelas kasih.
Ia bertanya apakah sudah saatnya kami saling bertukar cincin? Lantas, seketika aku akan melihat pertengkaran kami di masa depan di dalam sepetak rumah yang atapnya berlubang dan dindingnya retak oleh cuaca ekstrim. Aku menolaknya. Sekali lagi.
Akhir tahun ini ia mengunjungiku di Surabaya. Kami janji bertemu di kebun binatang–sebuah tempat yang rasa-rasanya mustahil aku kunjungi seumur hidupku, tetapi kini aku mengunjunginya di usia dua puluh. Aku merasa luar biasa. Ia memberiku selembar tisu untuk mengusap air mata yang menitik di pelupuk mata.
“Seandainya Ibu tahu, betapa lucunya hewan-hewan ini.”
Ia pasti sudah menemukan yang seperti itu di surga. Kata lelaki itu.
Setelah kematian ibu, hidup kami berjalan sebagaimana biasa, tetapi dengan banyak kekosongan. Bapak--ia masih seperti sedia kala bahkan hingga hari ini–rutenya adalah bolak-balik dari rumah kami, bantaran sungai, hingga ke rumah Danastri untuk bertemu anak lelakinya. Sesekali ia ke kebun, memburu buah-buahan tropis atau rebung dan daun pepaya untuk kemudian ia paketkan kepadaku di Surabaya. Meskipun bapak menyerahkan kuasa lahan kepadaku dan seluruh tabungan ibu, aku tetap meminta sepakatnya untuk menjual sapi-sapi kami yang hidup prihatin dan mengontrakkan semua lahan kecuali dua hektare yang tersisa, tempat bapak memburu kenangannya bersama ibu. Ia juga rutin mengunjungi makam ibu setiap Kamis sore, bercerita banyak hal, kecuali tentang Danastri--ia menjaga bicaranya. Dan, ya, hubunganku dengan ibu susuku itu tidak berkembang lebih jauh. Kami sama-sama menjaga diri dari keakraban yang tidak perlu. Sebuah senyuman saat berpapasan dengan satu atau dua patah kata–itu sudah sangat cukup.
Aku mendaftarkan diri di salah satu kampus swasta di Surabaya dengan jurusan hukum agraria. Baswara menyarankannya. Sebab, mau tak mau aku akan berurusan dengan lahan seumur hidupku. Ia bilang aku harus mencitrakan diri sebagai perempuan yang cerdas dan cekatan untuk menakuti orang-orang yang akan macam-macam. Aku sempat menolak, rasanya-rasanya aku menginginkan jurusan lain yang kuakrabi sejak kanak-kanak, sastra, misalnya. Namun, ia menegaskan aku boleh mengambil dua kuliah sekaligus seandainya otakku mampu. Aku sangat bersemangat dan aku benar-benar menerapkan sarannya. Namun, pada semester tiga, aku mengalami asam lambung kronis. Bapakku berkunjung dan seketika meraung-raung di lorong kontrakan kamar, disaksikan mahasiswa dari segala tingkat dan jurusan. Semenjak kematian ibu. Ia menjadi lebih ekspresif dalam mengungkapkan duka dan rasa senang. Lalu aku memutuskan untuk menunda sastraku, kelak setelah menuntaskan hukum agraria.
Wajah-wajah kerabat Dharma Gumilar silih berganti muncul, menyambangiku, mendesakku ke dalam pernikahan, baik itu dengan anak-anak mereka pun kenalan mereka. Jika bapakku mati, kata mereka, aku akan sebatang kara. Itulah mengapa aku harus bergegas berkembang biak. Namun bapakku selalu menjadi seseorang yang kuandalkan untuk mengusir mereka secara halus pun terang-terangan. Ia bilang anak perempuannya akan menjadi pintar dan akan sangat berhati-hati agar tidak terjebak pernikahan dengan kerjasama fiktif.