Warisan Perempuan Terbuang

Shinta Larasati Hardjono
Chapter #1

Prolog: Mimpi Yang Terulang

Elizabeth terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi dahi dan lehernya. Sejenak dia terpaku, menatap langit-langit kamar yang gelap, mencoba memahami kenyataan setelah terlepas dari mimpi yang begitu nyata. Di sampingnya, jam weker menunjukkan pukul tiga pagi.

Mimpi itu lagi.

Dalam mimpi, dia berada di sebuah rumah besar yang suram dengan dinding-dinding batu yang dingin. Lorong-lorongnya panjang dan berliku, dipenuhi oleh bayang-bayang gelap yang seolah menyembunyikan sesuatu yang mengerikan. Langit-langit tinggi dengan kubah besar yang ditopang pilar-pilar batu yang berlumut, menciptakan suasana yang mencekam dan menyesakkan. Di sudut-sudut ruangan, cahaya lilin yang redup hanya memperparah bayang-bayang gelap yang melingkupinya.

Di dalam rumah itu, seorang wanita muda berambut coklat ikal terkurung dalam sebuah kamar. Wanita itu mengenakan gaun panjang dari renda yang kotor dan usang, wajahnya pucat dengan mata yang penuh ketakutan. Kamar tempat dia berada sangat sempit, hampir seperti penjara, dengan satu jendela kecil yang tertutup jeruji besi.

Elizabeth tahu siapa wanita itu. Namanya Eliza.

Setiap kali mimpi itu datang, Elizabeth merasakan penderitaan Eliza seolah-olah itu, adalah penderitaannya sendiri. Eliza, yang hidup di Eropa abad sembilan belas, menjalani kehidupan yang penuh penindasan dan ketidakadilan. Dalam mimpi, Elizabeth melihat Eliza mencoba melarikan diri dari rumah besar itu. Eliza berlari menyusuri lorong-lorong yang tak berujung, napasnya terengah-engah, langkah kakinya menggema di lantai batu yang dingin. Setiap kali dia hampir mencapai pintu keluar, sebuah bayangan gelap muncul dan menghalanginya, membuatnya terjatuh kembali dalam jerat ketakutan dan kesakitan.

Dalam salah satu mimpi, Eliza berbisik lirih, “Tolong aku… Jangan biarkan aku disini.”

Elizabeth, dalam mimpinya, mencoba menjawab, “Aku akan menolongmu. Aku janji.”

Namun, suara Eliza selalu menghilang, ditelan oleh kegelapan lorong-lorong itu. Suara rantai yang diseret, gemerisik gaun Eliza yang robek, dan bisikan-bisikan yang tidak jelas selalu membuat Eliza terbangun dengan hati yang berat.

Elizabeth duduk di tepi ranjang, menghela napas panjang. Dia memandang keluar jendela, memandangi langit malam yang gelap dan tanpa bintang. Pikiran tentang mimpi itu terus menghantui benaknya. Mimpi-mimpi ini bukan sekadar mimpi buruk biasa. Mereka begitu hidup dan detail, seolah-olah berasal dari ingatan yang terpendam.

Mengapa mimpi ini terus berulang? Apa yang coba disampaikan oleh Eliza dari kehidupan masa lalunya?

Pikiran itu membawa Elizabeth kembali ke masa-masa awal mimpi ini muncul, tepat saat dia berusia dua puluh tahun. Pada awalnya, dia hanya menganggapnya sebagai hasil dari kecemasan atau stres yang dialaminya. Tapi semakin sering mimpi itu datang, semakin jelas pula detail-detail yang muncul. Wajah Eliza yang semula kabur kini terlihat nyata, dan setiap detil penderitaan yang dialami Eliza terasa begitu nyata.

Lihat selengkapnya