Saat itu usia Eliza menginjak enam belas tahun. Ayahnya membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Suatu hari, seorang pria berkuda dengan pakaian mewah tiba di desa mereka. Pria itu adalah Baron Heinrich von Richter, seorang bangsawan dari kota besar yang memiliki tanah luas dan kekayaan melimpah. Kedatangannya mengundang perhatian seluruh desa.
Eliza ingat betapa gugupnya ayahnya saat berbicara dengan Heinrich. Mereka duduk di ruang tamu yang sempit dan gelap, ayahnya berbicara dengan suara pelan namun tegas, sementara Heinrich mendengarkan dengan wajah tanpa ekspresi. Eliza, yang mengintip dari balik pintu dapur, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ketakutannya terbukti ketika ayahnya memanggilnya masuk dan memperkenalkannya kepada Heinrich.
"Eliza, ini adalah Baron Heinrich von Richter," kata ayahnya dengan nada penuh hormat. "Dia datang untuk melamarmu."
Dunia Eliza seakan runtuh saat mendengar kata-kata itu. Dia melihat ke arah Heinrich, pria yang jauh lebih tua darinya dengan tatapan dingin dan tajam. Heinrich berusia sekitar lima puluh tahun, dengan rambut hitam yang mulai memutih di pelipisnya. Wajahnya keras dan tajam, dengan mata biru yang dingin dan penuh perhitungan. Cara berpakaiannya mencerminkan kekayaannya: mantel tebal dari bahan wol terbaik, sepatu kulit mengkilap, dan cincin emas besar yang melingkari jarinya. Ketika dia berjalan, langkahnya mantap dan penuh keyakinan, seolah dunia ini miliknya.
Heinrich adalah seorang pria yang mengesankan dalam hal penampilan fisik dan sikap. Tinggi badannya mencapai hampir dua meter, membuatnya tampak menjulang di antara penduduk desa yang lebih pendek. Bahunya lebar dan posturnya tegak, mencerminkan kekuatan dan otoritas. Di wajahnya, rahang yang kuat dan garis-garis tegas menambah kesan ketegasan. Matanya yang biru seperti es memancarkan ketidakpedulian dan ketidakramahan, membuat siapa pun yang bertemu pandang dengannya merasa terintimidasi. Dia selalu mengenakan pakaian terbaik, mantel panjang dari bahan wol berwarna gelap yang menjuntai hingga pergelangan kakinya, dihiasi dengan kancing-kancing emas yang bersinar. Sepatunya terbuat dari kulit terbaik, selalu berkilau tanpa noda.
Ketika Eliza mendengar lamaran itu, dia mencoba menolak, namun suaranya tersekat di tenggorokan. Dia membalikkan badan ke arah ayahnya, berharap mendapatkan dukungan, tetapi hanya menemukan ekspresi tegas dan tak tergoyahkan.
"Ayah, aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak kucintai," Eliza berbisik dengan suara gemetar.
Ayahnya hanya menggelengkan kepala, "Ini adalah kesempatan terbaik untuk keluarga kita, Eliza. Kamu harus menerima keputusan ini."
Saat Eliza berusaha menolak lamaran tersebut, Heinrich tetap diam namun memperhatikan dengan seksama. Tatapan matanya yang dingin tidak berubah, namun ada kilatan kesabaran yang tipis, seolah dia terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa perlawanan. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang Eliza dengan pandangan yang membuatnya merasa semakin kecil dan tak berdaya. Heinrich tahu bahwa dia memiliki kuasa penuh atas situasi ini, dan dia tidak perlu berbicara untuk menguatkan posisinya.
Ibunya, yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah pucat, tampak tidak berdaya.
"Ibu, tolong katakan sesuatu," pinta Eliza, air mata mulai mengalir di pipinya.