Setelah pernikahan, Eliza pindah ke rumah besar milik Heinrich di kota. Rumah itu megah dan indah, dipenuhi oleh kemewahan yang tak pernah ia bayangkan, dengan perabotan berlapis emas dan kristal. Namun semuanya terasa seperti penjara baginya, terasa asing, dingin, menakutkan, dan tidak bersahabat. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada kehidupan yang telah hilang—kebebasan, kebahagiaan, dan cinta yang tidak pernah dimiliki.
Dinding-dinding tinggi dan kamar-kamar besar yang dingin hanya mempertegas rasa kesepian dan keterasingan yang Eliza rasakan. Lorong-lorongnya panjang dan berliku, dipenuhi oleh bayang-bayang gelap yang seolah menyembunyikan sesuatu yang mengerikan. Langit-langit tinggi dengan kubah besar yang ditopang pilar-pilar batu yang berlumut, menciptakan suasana yang mencekam dan menyesakkan. Di sudut-sudut ruangan, cahaya lilin yang redup hanya memperparah bayang-bayang gelap yang melingkupinya.
Heinrich tidak menunjukkan perhatian atau kasih sayang kepada Eliza. Baginya, Eliza hanyalah alat untuk memperkuat status sosialnya. Mereka tidak pernah benar-benar menjalin hubungan fisik atau emosional, menambah penderitaan Eliza yang terpaksa hidup tanpa cinta dan dipaksa untuk berada di sisi seseorang yang sama sekali tidak ia cintai. Heinrich, yang berasal dari kelas atas, memandang Eliza rendah karena asal-usul Eliza yang sederhana.
Namun, sebagai istri, Eliza dipaksa untuk melayani Heinrich sebagai pasangan. Setiap kali Heinrich mendekatinya, Eliza merasa tersiksa. Bagi Heinrich, Eliza hanyalah sebuah kewajiban sosial, bukan seorang yang dicintainya. Ia memperlakukan Eliza dengan dingin dan penuh rasa jijik, mempertegas betapa rendahnya pandangan Heinrich terhadap dirinya. Kamar tidur Eliza, meski dihiasi dengan tempat tidur berkanopi dan seprai sutra, terasa seperti tempat penyiksaan. Dinding-dindingnya dingin dan kosong, tanpa dekorasi yang bisa memberikan sedikit kehangatan atau kenyamanan. Tirai tebal di jendelanya selalu tertutup, membuat ruangan itu gelap dan suram, seolah mencerminkan perasaan Eliza yang terperangkap dan putus asa.
Hari-hari Eliza di rumah besar itu diisi dengan rutinitas yang monoton. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya sendirian di kamar, membaca buku-buku tua dan menulis diari. Satu-satunya hiburan, adalah berjalan-jalan di taman yang luas, tempat dia bisa merasakan kebebasan sesaat dari kehidupan yang membelenggunya.
Suatu hari, saat sedang berjalan di taman, Eliza bertemu dengan seorang pelayan muda bernama Anna.
"Nona Eliza, Anda kelihatan sedih. Apakah ada yang bisa saya bantu?" Tanya Anna dengan sopan.
Eliza tersenyum tipis, "Terima kasih, Anna. Kehidupan di sini terasa begitu sepi dan dingin. Saya merindukan kebebasan."
Anna mengangguk memahami, "Saya mengerti, Nona. Tuan Heinrich memang sangat keras. Tapi, Anda harus tetap kuat. Mungkin suatu hari nanti, Anda akan menemukan kebebasan itu."
Namun, setiap kali Eliza mencoba menikmati momen-momen kecil kebahagiaan, Heinrich selalu ada untuk mengingatkannya tentang posisinya. Dia sering kali memarahi Eliza atas hal-hal sepele, menunjukkan kekuasaan dan kontrolnya atas hidupnya.
"Kamu tidak boleh keluar tanpa izinku, Eliza. Ingat, saya telah mengambilmu menjadi istriku dan kau harus patuh padaku," katanya dengan suara tajam.
Eliza merasa semakin terjebak dalam penjara emas yang dibangun oleh Heinrich. Malam-malamnya diisi dengan air mata dan doa agar suatu hari dia bisa bebas.
"Tuhan, tolong berikan aku kekuatan untuk melawan dan menemukan jalanku sendiri," bisiknya dalam gelap.
___
Heinrich, adalah pria yang dingin dan otoriter. Di balik wajahnya yang tampan dan senyum yang menawan saat berada di depan umum, terdapat sifat kejam dan tak kenal belas kasihan. Dia memperlakukan Eliza bukan sebagai pasangan, tetapi sebagai barang milik yang bisa dikendalikan sesuka hati. Setiap gerak-gerik Eliza diawasi, setiap kesalahan kecil dihukum dengan kata-kata kasar atau, pada saat-saat tertentu, kekerasan fisik.
Suatu malam, setelah menemukan meja makan tidak tersusun rapi menurut standarnya yang ketat, Heinrich berkata dengan nada tajam, "Kenapa kamu tidak bisa melakukan hal sederhana ini dengan benar? Aku sudah bilang berkali-kali, semuanya harus sempurna! Istri tidak berguna, sama bodohnya seperti seekor ternak!"
Eliza menunduk, air mata menggenang di matanya. "Maaf, aku akan memperbaikinya," bisiknya dengan suara bergetar.
"Tidak ada maaf! Aku ingin rumah ini sempurna, dan kamu tidak boleh membuat kesalahan seperti ini lagi," kata Heinrich dengan suara yang bergetar marah.
Dengan kemarahan yang tak tertahankan, Heinrich meraih lengan Eliza dengan kasar, mencengkeramnya hingga meninggalkan bekas merah di kulitnya. Dia kemudian mendorong Eliza ke dinding dengan keras, membuatnya terjatuh ke lantai. Eliza meringis kesakitan, namun dia tahu bahwa melawan hanya akan membuat keadaan semakin buruk.
Lain waktu, Heinrich kembali ke rumah dengan wajah yang tampak marah. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia mendekati Eliza yang sedang membersihkan meja makan. Tiba-tiba, dengan kasar ia meraih lengan Eliza dan menariknya dengan kuat. "Apa kau tidak mendengar perintahku tadi pagi? Aku bilang untuk mengatur meja ini sesuai keinginanku!"
Eliza terhuyung-huyung, hampir jatuh saat Heinrich mendorongnya ke dinding. "Maaf, Suamiku," gumam Eliza dengan suara gemetar, "Saya pikir sudah melakukannya dengan benar."