Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Eliza terbangun dengan perasaan cemas yang membuncah di dadanya. Dia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang mengubah hidupnya selamanya, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Tidak ada seorangpun lagi yang bisa membantunya kali ini. Eliza harus menghadapinya sendiri.
Heinrich masuk ke kamar dengan langkah berat.
"Bersiaplah, Eliza. Kita akan pergi ke pasar istri hari ini," katanya dengan nada yang tidak menyisakan ruang untuk protes.
Eliza menatapnya dengan mata penuh ketakutan dan kebencian, "Kamu tidak bisa melakukan ini padaku, Heinrich. Aku bukan barang yang bisa dijual."
Heinrich mendekatinya, mencengkram lengan Eliza dengan kasar, "Kamu akan melakukan apa yang aku katakan. Jangan buat ini lebih sulit dari yang seharusnya."
Air mata Eliza menggenang di matanya. Dia tahu bahwa perlawanan hanya akan membuatnya semakin menderita.
Heinrich mengawasi dengan ketat saat Eliza dibawa keluar dari rumah.
"Pastikan tidak ada kesempatan untuk mereka melarikan diri lagi," katanya kepada para penjaga. Eliza menatap sekeliling, mencari celah atau kesempatan sekecil apapun.
Dengan rasa takut dan harapan yang bersaing di dalam dadanya, Eliza menaiki kereta yang akan membawanya pergi ke pasar menuju nasib yang tidak menentu. Heinrich duduk di sebelahnya, memastikan dia tidak akan mencoba sesuatu yang nekat.
Sepanjang perjalanan menuju pasar, Eliza terus berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri lagi. Dia tahu bahwa dia harus terus berjuang, tidak peduli seberapa sulitnya.
"Aku tidak akan pernah menyerah," tekadnya dalam hati, bersumpah untuk melawan apapun yang menghadangnya. “Pertempuran belum selesai, aku akan terus berjuang, apapun yang terjadi.”
Sementara itu, Anna tetap tinggal di rumah besar Heinrich, terikat oleh hutang keluarga dan ancaman keras Heinrich yang membayangi Anna sekeluarga. Dia hanya bisa berdoa agar Eliza menemukan jalan keluarnya dan meraih kebebasan yang selama ini diimpikan oleh Eliza.