Suatu hari, di pasar, Eliza bertemu dengan seorang wanita muda bernama Sophie. Sophie juga dibawa ke pasar istri oleh suaminya yang kejam. Pertalian pertemanan antara Eliza dan Sophie dengan cepat menjadi kuat karena dilatar belakangi dengan kesamaan nasib. Keduanya langsung merasakan ikatan persahabatan yang mendalam. Meskipun tidak diperbolehkan berbicara terlalu lama, mereka mulai bertukar pandangan dan senyuman yang mengandung harapan dan pemahaman.
"Sophie, apakah kamu juga merasa seperti tahanan di rumahmu sendiri?" Bisik Eliza pada pertemuan kedua mereka di pasar.
Sophie menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai mengalir, "Ya, Eliza. Suamiku memperlakukanku seperti barang. Aku tidak punya kebebasan atau suara."
Eliza meraih tangan Sophie, menggenggamnya erat, "Kita harus saling mendukung dan memberikan kekuatan satu sama lain. Kita tidak bisa terus hidup seperti ini."
Mereka berdua mulai merencanakan pertemuan rahasia di taman dekat pasar setiap minggu. Di sanalah mereka berbagi cerita, harapan, dan rencana pelarian. Persahabatan mereka menjadi sumber kekuatan dan penghiburan di tengah penderitaan.
Suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon besar di taman, Eliza bertanya, "Sophie, apa impian terbesarmu?"
Sophie tersenyum lemah, "Aku ingin bebas dan pergi jauh dari sini, memiliki kendali atas hidupku sendiri, merencanakan masa depan, dan mulai membangun mimpi-mimpi baru. Aku ingin menyisihkan uang untuk bisa membuka toko roti, menjual roti yang lezat dan membuat orang-orang bahagia. Bagaimana denganmu?” Sophie menceritakan keinginannya dengan mata bersinar.
Eliza mengangguk, tersenyum, "Aku juga ingin melakukan sesuatu yang berarti. Mungkin aku bisa belajar lebih banyak tentang dunia dan berbagi pengetahuan dengan orang lain. Kita bisa mengumpulkan orang-orang yang bernasib sama dan membentuknya menjadi kelompok yang saling mendukung."