Warisan Perempuan Terbuang

Shinta Larasati
Chapter #28

Menghadapi Kritik Dan Tekanan

Pagi itu, Elizabeth bangun dengan perasaan damai yang jarang ia alami belakangan ini. Matahari perlahan menembus tirai jendela, memberikan kehangatan di ruangan yang penuh dengan dokumen dan catatan perjuangannya. Dia duduk di meja kerjanya, membuka laptop, dan menghirup kopi hangat. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Email baru masuk dengan cepat di kotak masuknya—sebuah pesan anonim yang langsung menarik perhatiannya.

"Anda hanya mencari perhatian. Tidak ada yang peduli dengan perjuangan Anda. Anda tidak bisa mengubah apapun. Berhenti sebelum terlambat, atau Anda akan menyesal."

Elizabeth menatap layar sejenak, membiarkan kata-kata itu menghantamnya. Ancaman seperti ini bukan hal baru baginya, tetapi entah kenapa pesan kali ini terasa lebih menekan. Ada sesuatu dalam nada email itu yang dingin dan penuh kebencian. Dia mendesah panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, merasakan perasaan cemas yang mencoba merayap ke dalam dirinya.

Ketika di kantor, Laura, rekan sekaligus sahabatnya, masuk ke ruang kerja dan melihat wajah Elizabeth. 

"Ada apa? Wajahmu seperti tidak bersemangat,” tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran. 

Elizabeth memutar laptopnya, memperlihatkan email yang dibacanya tadi pagi.

"Email ancaman lagi," jawabnya singkat.

Laura membaca cepat, matanya menyipit ketika melihat kata-kata kasar yang ditulis dalam pesan itu. 

"Ini tidak bisa dibiarkan, Liz. Ini sudah keterlaluan!" Laura berbicara dengan nada tegas, hampir marah. "Kita harus melaporkan ini. Kau tidak bisa terus-menerus menerima ancaman seperti ini."

"Aku tahu, tapi ini bukan sesuatu yang bisa membuatku mundur," Elizabeth menjawab, mencoba tetap tenang. "Mereka ingin menakut-nakutiku, membuatku berhenti, tapi kita tidak akan menyerah begitu saja."

"Tapi bagaimana jika ancaman ini bukan hanya kata-kata kosong? Bagaimana jika mereka benar-benar bertindak?" Laura mendesak, tatapannya penuh dengan kekhawatiran yang semakin dalam. "Kau harus lebih berhati-hati, Liz."

Elizabeth menggeleng pelan, meneguhkan dirinya, "Ini risiko yang harus dihadapi dalam perjuangan ini. Kalau kita lapor, mereka akan tahu kalau mereka berhasil menakut-nakutiku. Aku tidak bisa memberikan mereka kemenangan itu."

Laura mendesah berat, berjalan ke sisi meja Elizabeth, lalu duduk di tepi kursi. 

"Aku hanya tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Mereka mungkin bisa melakukan sesuatu yang lebih buruk dari sekadar email," katanya dengan nada yang lebih lembut, tetapi masih penuh ketegangan.

Elizabeth tersenyum tipis, mencoba menenangkan sahabatnya, "Aku akan baik-baik saja. Kita hanya perlu tetap fokus."

Namun, ancaman itu bukan satu-satunya masalah yang Elizabeth hadapi. Tekanan juga datang dari beberapa klien mereka. Salah satu klien besar, seorang pengusaha berpengaruh, menghubungi Elizabeth dan meminta pertemuan darurat. 

Lihat selengkapnya