Malam itu, Elizabeth duduk sendirian di ruang tamu, hanya ditemani oleh cahaya redup dari lampu meja di sudut ruangan. Di luar, hujan turun dengan lembut, menciptakan irama yang biasanya menenangkan, tetapi kali ini hanya menambah perasaan berat yang menggantung di dadanya. Meja di depannya dipenuhi dokumen, laporan, dan catatan yang semuanya terkait dengan perjuangan yang telah ia mulai sejak beberapa tahun terakhir. Namun, meskipun ia sudah bekerja begitu keras, Elizabeth mulai merasakan bahwa semua upaya itu mungkin sia-sia.
Antonius, suaminya, baru saja pulang dari kantor. Dia masuk ke ruang tamu dan melihat Elizabeth duduk termenung, wajahnya pucat dan lelah. Antonius mendekat dengan hati-hati, tahu bahwa istrinya sedang menghadapi tekanan yang luar biasa.
“Kamu baik-baik saja, Liz?” Tanya Antonius dengan suara lembut, berdiri di samping sofa tempat Elizabeth duduk.
Elizabeth tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap kosong ke arah jendela, mengamati tetesan air yang jatuh di balik kaca. Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang dan berkata dengan suara yang nyaris berbisik, “Aku tidak tahu, Toni. Rasanya seperti semua yang aku lakukan, menjadi tidak ada gunanya.”
Antonius mengernyitkan alis, kemudian duduk di sebelahnya, "Apa maksudmu?"
Elizabeth akhirnya menoleh, menatap suaminya dengan mata yang penuh dengan kelelahan dan keraguan.
“Aku sudah memberikan segalanya untuk perjuangan ini. Aku sudah kehilangan klien, mendapat ancaman, dan bahkan beberapa dari timku mulai meragukan kepemimpinanku. Aku mulai bertanya-tanya, apakah semua ini akan menghasilkan sesuatu yang nyata? Apakah aku hanya membuang-buang waktu?”
Antonius mendengarkan dengan sabar, mengusap punggung Elizabeth dengan lembut, “Liz, kamu sudah mencapai banyak hal. Orang-orang melihatmu sebagai inspirasi. Tapi, jika kamu merasa ini terlalu berat, mungkin memang sudah waktunya untuk beristirahat sebentar. Mundur untuk sementara tidak berarti kamu menyerah.”
Elizabeth menggeleng, dengan cepat memotong ucapan suaminya, “Mundur? Bagaimana aku bisa mundur ketika begitu banyak orang bergantung padaku? Jika aku berhenti sekarang, apa yang akan terjadi pada perempuan-perempuan yang kita perjuangkan?”
Antonius mendesah, “Aku tidak mengatakan kamu harus menyerah, Liz. Aku hanya ingin kamu menjaga dirimu. Kamu sudah memberikan begitu banyak. Jangan sampai kamu kehabisan energi bahkan sebelum kita mencapai tujuan.”
Elizabeth diam sejenak, memikirkan kata-kata Antonius. Ia tahu suaminya tidak bermaksud menyuruhnya berhenti, tapi lebih kepada menjaga dirinya dari kelelahan yang begitu mendalam. Namun, rasa tanggung jawab yang begitu besar membuat Elizabeth sulit membiarkan dirinya berpikir tentang istirahat.
“Kamu tahu,” lanjut Antonius, “Perjuangan yang kamu lakukan ini besar, Liz. Dan yang besar selalu memakan waktu. Orang-orang yang kamu bantu mungkin tidak akan melihat hasilnya hari ini atau besok, tapi mereka akan merasa dampaknya suatu saat nanti. Tapi jika kamu runtuh sekarang, siapa yang akan meneruskan semua ini?”
Elizabeth menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan Antonius, tetapi rasa lelah itu semakin kuat, “Aku hanya merasa lelah, Toni. Lelah secara fisik, mental, dan emosional. Setiap kali aku berpikir sudah membuat kemajuan, ada saja halangan baru yang muncul. Seolah-olah aku melawan dunia sendirian.”