Waktu terus bergulir. Entah mengapa Elizabeth merasakan ketegangan yang menggantung di rumah.Â
Selama beberapa minggu terakhir, pekerjaannya sebagai aktivis semakin menuntut, dan dia merasa seperti tidak pernah memiliki cukup waktu untuk keluarga. Suaminya, Antonius, yang selalu penuh pengertian, mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Dia merasakan jarak yang semakin lebar antara mereka, tetapi selalu berpikir bahwa itu hanya sementara—sesuatu yang akan segera membaik setelah perjuangan ini sedikit mereda.
Suatu malam, Elizabeth pulang larut setelah pertemuan yang berlangsung lebih lama dari yang direncanakan. Ketika dia membuka pintu rumah, suasana terasa sunyi. Rumah mereka biasanya dipenuhi tawa anak-anak, tetapi malam itu, tidak ada suara, hanya keheningan yang menakutkan.
Antonius sedang duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius yang jarang Elizabeth lihat. Dia tahu ada sesuatu yang salah, tapi dia mencoba menyapanya dengan senyum yang biasa.
"Kamu belum tidur?" Tanya Elizabeth, meletakkan tasnya di meja dan mendekatinya.
Antonius menatapnya dengan tatapan penuh penat, "Aku menunggumu. Kita perlu bicara, Liz."
Elizabeth duduk di sampingnya, mencoba mencari tahu apa yang akan dikatakan suaminya, "Apa ini soal aku yang terlambat lagi? Aku tahu aku seharusnya pulang lebih awal, tapi pertemuan tadi sangat penting."
"Ini bukan soal kamu pulang terlambat," kata Antonius dengan suara yang tenang, tetapi tajam. "Ini tentang kamu yang hampir tidak pernah ada di sini lagi."
Elizabeth terdiam. Ia bisa merasakan bobot dari kata-kata Antonius. Ini bukan sekadar keluhan ringan. Ini adalah masalah yang sudah lama ia abaikan, tapi kini akhirnya muncul ke permukaan.
"Kamu tahu aku sedang berjuang untuk sesuatu yang besar, Toni," jawab Elizabeth dengan nada penuh pengertian. "Ini tidak mudah, tapi aku berusaha semampuku."
Antonius mengangguk, namun raut wajahnya menunjukkan kelelahan emosional yang dalam, "Aku mengerti, Liz. Aku tahu betapa pentingnya ini bagimu. Tapi yang harus kamu sadari, keluarga kita juga penting. Anak-anak mulai merasa kehilangan ibunya."
Mendengar hal itu, hati Elizabeth terasa tersentuh, "Aku tahu... Aku tahu, Toni," katanya dengan nada lembut, hampir berbisik. "Tapi perjuangan ini lebih besar dari kita. Ada begitu banyak orang yang bergantung pada apa yang kita lakukan. Aku tidak bisa menghentikannya begitu saja."
"Siapa yang meminta kamu untuk berhenti?" Balas Antonius dengan tegas. "Aku tidak pernah memintamu untuk berhenti, Liz. Aku mendukungmu, selalu. Tapi tolong, jangan lupakan kami. Jangan lupakan aku dan Sebastian. Keluargamu. Aku takut kalau kita kehilanganmu."
Elizabeth merasa hatinya bergetar. Suaminya tidak marah, tetapi dia bisa mendengar nada kepedihan dalam suaranya. Antonius bukan tipe orang yang meminta perhatian atau menuntut sesuatu darinya. Selama ini, dia selalu mendukung setiap langkah yang diambil Elizabeth, bahkan ketika langkah itu membawa mereka semakin jauh satu sama lain.
"Aku tidak pernah ingin meninggalkan kalian," kata Elizabeth dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu tahu aku mencintai kalian lebih dari apa pun. Aku hanya merasa... Kalau aku tidak melakukan ini, aku akan mengecewakan banyak orang."