Elizabeth menatap tumpukan dokumen yang tampak tak pernah berakhir. Kasus demi kasus, rencana demi rencana, semuanya sudah terlalu banyak memenuhi pikirannya. Dia belum lama menerima serangan dari media, dan meskipun kampanye media sosial mereka berhasil memperbaiki sebagian dari reputasinya, dia tahu bahwa ini hanya sementara. Lawan mereka terlalu kuat, terlalu berpengaruh, dan mereka tidak akan berhenti sampai menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Di tengah kegelisahan itu, pintu diketuk. Laura, yang selalu setia berada di sisinya, melongokkan kepalanya ke dalam, "Liz, ada seseorang yang ingin bicara denganmu. Ini penting."
Elizabeth mengerutkan kening, "Siapa?"
Laura tampak ragu sejenak sebelum menjawab, "Mr. Thompson. Mantan pengacara perusahaan lawan."
"Thompson? Kau bercanda, kan?" Suara Elizabeth mengeras. "Dia adalah salah satu orang yang memimpin serangan hukum terhadap kita. Kenapa dia di sini?"
"Aku tidak tahu, Liz. Tapi dia bilang dia punya sesuatu yang penting untuk disampaikan. Dia bahkan kelihatan serius." Laura tampak bingung, dan Elizabeth bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda kali ini.
Setelah beberapa detik berpikir, Elizabeth menghela napas, "Baiklah. Bawa dia masuk. Tapi aku tak mau banyak drama."
Thompson masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang mantap, meskipun terlihat sedikit gugup. Dia adalah pria berusia pertengahan empat puluhan, dengan pakaian formal yang rapi, persis seperti yang Elizabeth ingat saat pertemuan mereka sebelumnya di pengadilan. Bedanya, kali ini dia tidak tampak seperti lawan yang percaya diri. Wajahnya tampak lebih tegang, lebih serius.
“Elizabeth,” ucapnya sambil mengangguk singkat.
Elizabeth menatapnya dengan dingin, tetap waspada, “Aku tidak punya banyak waktu, Mr. Thompson. Kalau ini semacam jebakan atau permainan, lebih baik kau pergi sekarang.”
Thompson menelan ludah, kelihatan tertekan dengan penerimaan yang dingin itu, "Aku mengerti skeptisisme dari dirimu, dan aku tidak akan menyalahkanmu kalau kau memilih untuk tidak mempercayaiku. Tapi aku di sini karena aku ingin membantu. Aku sudah muak dengan apa yang mereka lakukan, dan aku tidak bisa lagi terlibat dalam semua kebusukan itu."
Elizabeth menyilangkan tangannya di depan dada, masih belum percaya, "Kenapa sekarang? Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah pikiran setelah bertahun-tahun melawan kami di pengadilan?"
Thompson menggeser pandangannya, seolah mencari kata-kata yang tepat, "Selama ini, aku selalu berpikir bahwa aku hanya melakukan pekerjaanku. Aku menjalankan kasus, memenangkan argumen, dan menghasilkan uang. Itu yang selalu kupikirkan. Tapi semakin lama aku bekerja di dalam sistem ini, semakin aku sadar bahwa apa yang kulakukan tidak hanya tentang memenangkan kasus. Ini tentang merugikan orang-orang seperti Julia dan semua korban lain yang tidak pernah punya suara."
“Jadi, kamu merasa bersalah sekarang?” Elizabeth menyindir, matanya penuh skeptis. “Itu yang ingin kau katakan?”
Thompson menghela nafas panjang, "Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi, selama bertahun-tahun, aku melihat dari dalam bagaimana mereka mengorbankan orang-orang seperti kalian hanya demi keuntungan. Aku punya akses ke dokumen-dokumen internal, rencana-rencana mereka. Aku tahu kelemahan mereka, dan aku tahu bagaimana mereka akan menyerangmu lagi di masa depan. Aku ingin membantu menghentikan itu."
Elizabeth tetap diam beberapa detik, merenung. Dia tidak ingin terlihat lemah atau mudah percaya, tetapi jika Thompson benar-benar memiliki informasi yang bisa membantu perjuangan mereka, ini adalah kesempatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.