Warisan Perempuan Terbuang

Shinta Larasati Hardjono
Chapter #35

Momen Hampir Kalah

Kekalahan dalam sidang datang seperti badai yang tidak terduga. Elizabeth berada di ruang sidang ketika hakim mengumumkan putusan yang menghancurkan harapan mereka. Semua bukti yang mereka sajikan, semua argumen yang sudah mereka susun dengan hati-hati, tampak sia-sia. Keputusan pengadilan itu seakan menutup jalan menuju kemenangan.

Begitu hakim meninggalkan ruangan, keheningan menyelimuti. Elizabeth memandang sekeliling. Timnya duduk di kursi, wajah-wajah mereka menunjukkan keputusasaan dan ketidakpercayaan. David, yang biasanya tegar dan penuh keyakinan, kini tampak terpuruk. Laura menunduk, menatap kosong ke lantai tanpa sepatah kata pun. Julia, yang duduk tak jauh dari Elizabeth, terlihat pucat, air mata berlinang di sudut matanya.

"Ini tidak mungkin," David akhirnya bicara dengan suara parau. "Kita seharusnya menang. Semua bukti ada di pihak kita. Bagaimana bisa kita kalah?"

Elizabeth menatapnya, merasa ada beban besar yang menekan dadanya. Dia ingin berkata sesuatu yang bisa mengembalikan semangat timnya, tetapi bahkan dirinya pun sulit menerima kenyataan ini. 

"Aku tahu, David," jawabnya lirih. "Tapi kita kalah, dan sekarang kita harus menerima kenyataan itu."

Laura, yang selama ini menjadi tulang punggung emosional tim, akhirnya bicara, "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang, Liz? Semua ini terasa seperti akhir. Klien kita, korban yang bergantung pada kita... Apa yang akan kita katakan pada mereka?"

Elizabeth menghela nafas panjang, merasa seluruh dunia telah runtuh di sekitarnya. Dia memikirkan Julia dan para korban lain yang telah memberikan segalanya untuk kasus ini. Selama ini, dia telah memimpin mereka dengan harapan bahwa keadilan akan memihak pada mereka. Namun sekarang, keadilan tampaknya memilih jalan lain.

Julia, yang duduk terdiam, tiba-tiba mengangkat kepalanya. Wajahnya basah oleh air mata, tetapi tatapannya tajam, "Apa yang akan kita lakukan, Elizabeth? Apa yang akan kita lakukan untuk semua perempuan yang sudah percaya padamu?"

Elizabeth merasa jantungnya berdegup kencang. Julia benar—mereka tidak bisa menyerah begitu saja. Mereka bukan hanya melawan sistem, tetapi juga berjuang demi para korban yang telah mengalami ketidakadilan selama bertahun-tahun. Kegagalan ini memang besar, tetapi ini tidak berarti akhir dari segalanya.

Elizabeth berdiri, mengumpulkan kekuatannya, dan menatap timnya satu per satu. “Dengar, kita mungkin kalah saat ini, tapi itu bukan berarti kita kalah sepenuhnya. Ini hanya satu pertempuran, dan kita masih memiliki seluruh perang untuk dimenangkan.”

David menggeleng, frustasi, “Liz, mereka punya semua kekuatan. Mereka mengontrol media, hukum—semua. Bagaimana kita bisa menang melawan mereka?”

Elizabeth tersenyum pahit, “Karena kita punya sesuatu yang mereka tidak punya, David. Kita punya kebenaran, dan kebenaran selalu menemukan jalannya. Mereka bisa menghalangi kita di sini, tapi itu hanya sementara.”

Laura mendongak, air mata masih membasahi pipinya, “Jadi, apa langkah kita selanjutnya? Aku tidak tahu apakah aku punya energi lagi untuk terus berjuang.”

Elizabeth merasakan ada rasa simpati dalam dirinya untuk Laura. Mereka semua telah mengorbankan begitu banyak—waktu, tenaga, bahkan kehidupan pribadi mereka. Namun, di balik rasa lelah itu, Elizabeth masih percaya bahwa mereka bisa bangkit kembali.

“Kita regroup,” jawab Elizabeth tegas. “Kita bicarakan langkah-langkah kita selanjutnya. Ini bukan saatnya menyerah, ini adalah saat untuk menyusun ulang strategi.”

Lihat selengkapnya