Ketika Elizabeth dan timnya merayakan kemenangan kecil mereka, suasana kantor dipenuhi dengan rasa lega dan harapan baru. Setelah menghadapi kekalahan, mereka akhirnya melihat secercah cahaya: sebuah rencana baru, yang menimbulkan semangat dan kekuatan untuk bertahan.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Hanya beberapa hari setelah momen itu, ancaman baru datang, dan kali ini dari lawan yang jauh lebih besar: sebuah korporasi raksasa dengan kekuatan politik dan ekonomi yang tidak terkira.
Elizabeth sedang duduk di ruang rapat bersama tim inti ketika Laura masuk membawa surat yang baru saja diterima dari firma hukum yang mewakili korporasi besar tersebut. Wajahnya tegang, dan langkahnya terkesan lebih berat dari biasanya.
"Elizabeth," Laura berkata dengan suara pelan, meletakkan surat di depan Elizabeth. "Ini baru saja datang. Kita punya masalah besar."
Elizabeth meraih surat itu dan membukanya dengan cepat. Surat itu berisi ancaman hukum dari perusahaan yang terlibat dalam kasus mereka. Perusahaan itu memperingatkan mereka untuk menghentikan upaya melanjutkan kampanye reformasi atau mereka akan menghadapi tuntutan hukum yang besar. Mereka juga menyatakan bahwa mereka sedang melobi pemerintah untuk membatalkan semua reformasi yang baru saja disahkan.
Elizabeth meremas surat itu dengan tangan gemetar, “Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka menggunakan uang dan kekuasaan mereka untuk menghentikan kita.”
David yang duduk di sampingnya menyandarkan tubuh ke kursi, wajahnya terlihat khawatir, “Ini lebih besar dari kita, Liz. Korporasi seperti itu punya pengaruh yang tidak bisa kita tandingi. Kalau mereka sudah melobi pemerintah, kita akan kesulitan mempertahankan reformasi.”
Laura mengangguk setuju, “Dan mereka bisa saja menghentikan semua yang sudah kita capai. Aku benci mengatakannya, tapi ini adalah ancaman yang nyata. Mereka punya akses ke media, ke politisi, ke orang-orang yang bisa membalikkan segalanya.”
Elizabeth mendesah panjang, mencoba berpikir dengan tenang di tengah ketegangan yang mulai menyelimuti ruangan. Dia tahu ini akan datang suatu hari, tetapi dia tidak menyangka akan secepat ini, “Kita tidak bisa menyerah sekarang. Kita baru saja mulai membuat kemajuan. Kalau kita menyerah sekarang, semua yang kita lakukan selama ini akan sia-sia.”
David menatapnya skeptis, “Lalu apa yang akan kita lakukan? Kita tidak punya uang sebanyak mereka, tidak punya koneksi sebesar itu.”
Elizabeth menatap David tajam, “Kita mungkin tidak punya uang, tapi kita punya sesuatu yang jauh lebih kuat: dukungan dari orang-orang yang kita perjuangkan. Kita akan menggalang lebih banyak dukungan publik, membuat tekanan yang tidak bisa diabaikan oleh pemerintah. Ini bukan hanya pertarungan di pengadilan, ini pertarungan untuk hati dan pikiran masyarakat.”
Laura tersenyum tipis, meski tampak jelas bahwa dia juga masih merasa khawatir, “Jadi, kita melawan korporasi besar ini dengan publik?”
Elizabeth mengangguk, “Ya, dan kita akan menggunakan setiap platform yang kita punya. Media sosial, aksi massa, petisi publik—apapun yang bisa kita lakukan untuk membuat suara kita didengar.”
Pada saat itu, telepon di meja Elizabeth berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, dia mengangkatnya. Suara seorang pria yang dingin terdengar di ujung sana.
“Elizabeth Pembroke?” Suara pria itu terdengar tegas.
“Ya, siapa ini?” Elizabeth bertanya dengan nada waspada.