Warisan Perempuan Terbuang

Shinta Larasati Hardjono
Chapter #45

Konfrontasi Terakhir

Langit sore terlihat gelap, seperti tanda badai yang akan segera datang. Di jalan utama kota, ribuan orang berkumpul dengan penuh semangat. Bendera dan spanduk bertuliskan "Keadilan untuk Semua" dan "Kesetaraan Hak untuk Perempuan" melambai di udara, diiringi dengan teriakan dari para demonstran yang berkumpul mendukung gerakan yang dipimpin oleh Elizabeth. Namun, Elizabeth tahu, di balik semua semangat ini, ada kekuatan yang lebih besar yang berusaha menjatuhkan perjuangan mereka.

Di sisi lain kota, di ruang rapat mewah sebuah gedung pencakar langit, para eksekutif perusahaan besar sedang merancang strategi untuk melawan gerakan Elizabeth. Salah satu dari mereka, seorang pria yang dikenal dengan sebutan Mr. Becker, berdiri di ujung meja dengan ekspresi serius.

"Ini tidak bisa dibiarkan berlanjut. Gerakan mereka mulai merugikan kepentingan kita," ujar Mr. Becker sambil menatap satu per satu anggota timnya.

Salah satu pengacara senior perusahaan, seorang wanita yang terlihat tenang namun licik, menjawab, "Kami sudah menyiapkan langkah hukum untuk mencoba menggagalkan undang-undang baru ini, tetapi kita butuh serangan yang lebih langsung."

Mr. Becker mengangguk, "Kita harus bertindak sekarang, sebelum gerakan mereka semakin besar. Kita harus mematahkan semangat Elizabeth, menghancurkan dia dari dalam."

 —

Di saat yang sama, Elizabeth sedang bersiap untuk berpidato di tengah kerumunan yang semakin besar. Di depan, di hadapan semua orang, dia berdiri bersama Laura, David, dan beberapa aktivis lainnya. Teriakan dukungan terus membahana di sekeliling mereka, tetapi Elizabeth merasakan ketegangan yang tak terlihat di udara. Dia tahu ada sesuatu yang sedang terjadi di balik layar.

"Elizabeth," bisik Laura, "aku mendengar kabar bahwa mereka akan mencoba sesuatu. Aku tidak tahu pasti apa, tapi kita harus berhati-hati."

Elizabeth menatap Laura dengan serius, lalu mengangguk, "Aku tahu. Tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Ini saatnya kita melawan balik dengan semua yang kita miliki."

Saat dia berjalan menuju panggung, sorakan semakin kencang. Elizabeth menatap lautan manusia di hadapannya, mencoba menyusun kata-kata yang akan disampaikan. Tapi sebelum dia bisa memulai pidatonya, terdengar suara dari arah yang tidak terduga. Sebuah suara keras dari pengeras suara di seberang jalan, di mana sekelompok kecil lawan mereka mulai membuat keributan.

"Elizabeth tidak lebih dari seorang oportunis!" Teriak seorang pria, yang suaranya menggema di seluruh alun-alun. "Dia hanya ingin memperkaya dirinya sendiri! Gerakan ini hanyalah alatnya untuk mendapatkan perhatian!"

Lihat selengkapnya