Sore itu, sebuah perayaan kemenangan kembali diadakan, kali ini bersama keluarga dan teman-teman.
Di tengah perayaan, Mr. Thompson, salah satu undangan yang hadir, yang juga merupakan mantan pengacara yang pernah membelot dari pihak lawan, menghampiri Elizabeth, "Elizabeth, aku harus memberitahumu sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang akan mengubah segalanya."
Mereka kemudian menuju ruangan kerja Elizabeth. Thompson, yang telah menjadi sekutu penting dalam perjuangan, terlihat gugup,“Aku mendengar sesuatu, Elizabeth, dari dalam perusahaan lama,” kata Thompson dengan nada tegang, “mereka bukan hanya melobi pemerintah, namun mereka juga berencana mengambil kembali kekuatan sosial dan ekonomi dengan cara mengendalikan arah gerakan hak-hak perempuan.”
“Bagaimana mungkin?” Elizabeth memandangnya dengan ketidakpercayaan. “Mereka sudah kalah. Perubahan hukum sudah dibuat. Kita menang.”
“Tapi mereka tidak pernah berhenti, Elizabeth,” suara Thompson memecahkan kesunyian, "mereka tidak mau dikalahkan. Lawanmu mendekati orang-orang yang berada di dekatmu. Selama ini kau pasti berpikir bahwa kau memiliki tim yang solid. Kau sudah salah besar. Mereka telah menempatkan mata-mata di timmu. Di dalam tim milikmu, Elizabeth!"
Elizabeth terkejut. Pikirannya melayang pada pengkhianatan Samuel sebelumnya, tetapi kemudian Thompson memberi tahu sesuatu yang lebih mengejutkan.
“Itu bukan hanya Samuel. Julia! Dia juga telah dijadikan alat oleh korporasi untuk mendiskreditkan perjuanganmu.”
Elizabeth tersentak. Julia, korban utama dalam kasus yang ia perjuangkan, seseorang yang dianggapnya sebagai simbol kekuatan perempuan?
"Kau pasti salah. Julia adalah korban.”
Thompson menghela napas panjang, “Ya, dia korban, tapi dia juga telah dimanipulasi oleh pihak lawan. Dia diberi janji uang dan jaminan untuk melindungi keluarganya jika dia bisa memanipulasi arah perjuangan ini. Mereka berhasil memanfaatkan rasa takut Julia, dan memaksanya berpihak pada mereka.”
Elizabeth terduduk. Semua kerja keras, setiap langkah yang dia tempuh, terancam hancur karena pengkhianatan dalam tim sendiri.
—
Keesokan harinya, Elizabeth memutuskan untuk menemui Julia.
Julia menangis dan mengakui semuanya, "Aku terjebak, Liz. Aku tidak punya pilihan. Mereka mengancam akan menghancurkan hidupku jika aku tidak mengikuti mereka."
Elizabeth merasa hatinya remuk, tetapi pengkhianatan Julia tidak boleh menghentikannya. Dia harus menyeimbangkan antara memaafkan dan memutuskan siapa yang bisa dipercaya.
---