Klasin mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. Tampak ada gundah di wajah dengan garis rahang terlihat kokoh itu.
"Ada apa, Mas?" tanya Lina dengan suara pelan karena takut suaminya semakin kesal.
"Huft. Kang Karman, tanpa izin sama aku, dia jual kebun peninggalan simbok yang ada di timur desa, Dek." Pria yang sudah memiliki dua orang anak itu pun menjawab dengan suara pelan.
"Kebun? Oh, yang waktu kita masih di kampung, selalu kita panen buah sawitnya itu? Yang kalau hujan pasti jadi kolam?" sahut Lina.
"Iya, itu. Kebun setengah hektar itu dijual seharga lima belas juta. Apa nggak dia pikir kalau itu udah jadi bagianku? Seenak sendiri dia jual," balas Klisin.
"Mas tahu soal itu dari siapa?" tanya Lina lagi.
"Orang yang beli kebun itu ngomong sendiri, Dek. Dia kira emang kita yang suruh jual. Nggak mungkinlah kujual kebun cuma harga segitu."
"Terus sekarang gimana? Takutnya kalau Mas cuma diam aja, Kang Karman makin merajalela. Itu masih ada dua hektar lagi lahan kosong di dekat PT, kan? Takutnya itu dia jual juga, Mas." Bukan ingin menambah emosi di kepala suami. Namun, dia tidak terima jika yang harusnya jadi milik suaminya, justru terjual tanpa mereka ikut menikmati hasil penjualan.
"Besok aku pulang kampung, Dek. Aku harus selesaikan semuanya biar nggak semakin runyam."
Sebelum tidur, Lina menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa suaminya pulang kampung. Salah sati desa yang ada di pelosok kabupaten dan membutuhkan waktu tempuh sekitar tiga jam menggunakan motor. Ada rasa mengganjal di hati Lina, tetapi dia tidak berani menyatakan hal itu pada sang suami.
***
"Aku pergi, ya, Dek. Jangan khawatir gitu. Aku pergi sama adikmu, nggak sendiri. Baik-baik di rumah sama anak-anak. Kalau takut, pergi aja ke rumah orang tuamu, nginap aja di sana," ucao Klasin saat pagi tiba dan bersiap berangkat.
"Iya, Mas. Nggak apa-apa, aku di rumah aja. Lagian tetangga udah banyak dan deket jarak rumahnya," sahut Lina sembari mengulas senyum.