Kang To terkesiap mendengar apa yang diutarakan oleh adik bungsunya. Bukan tanpa alasan pria berusia empat puluh tahun lebih itu terkejut. Adik bungsunya itu termasuk pria yang tidak pernah berbicara dengan dengan suara lantang bernada tinggi. Adiknya itu adalah pria santun yang selalu menghormati siapa saja.
"Ma-maksudnya gimana, Le? Nyelesaikan apa? Bukannya semua sudah selesai?" tanya Kang To dengan suara tergagap.
"Selesai menurut kalian, tapi buatku baru kumulai, Kang. Kenapa? Bukankah kamu ini saudara tertua? Bukankah seharusnya kamu bisa menasihati Kang Karman agar membatalkan niatnya, Kang? Kenapa kamu malah diam dan seolah mendukung semua yang dia lakukan?" Klasin berkata tanpa jeda. Dua manik matanya yang kecokelatan menatap tajam pada sang kakak.
"Maaf, Le. Aku kemarin juga tahunya setelah mereka sepakat harga. Kasihan juga Mbak Nik-mu yang harus berobat, tapi nggak punya biaya," sahut Kang To tanpa berani menatap adiknya.
"Yakin beneran sakit? Buktinya semua orang bilang dia sehat aja. Hati-hati, Kang. Ucapan bis jadi doa. Lagian, kalau emang mau berobat, Kang Karman punya lahan sawit, kan? Dua hektar, lho.
Belum lagi hasil sawit yang ada di pekarangan rumahku juga dia ambil. Apa kurang? Kenapa harus menjual yang hanyak sepetak dan itu jadi hakku? Sekarang, kamu telepon Kang Karman, Kang. Minta dia datang ke sini. Aku mau semua selesai." Klasin langsung meminta kesediaan Kang To menelepon Kang Karman.
Terdengar suara nada sambung di hape Kang To saat pria dengan satu anak itu menghubungi sang adik, Karman. Namun, panggilan tidak mendapat jawaban. Begitu juga saat Klasin menghubungi. Karman juga tidak menerima panggilan tersebut.
"Di mana dia biasanya?" sela Klasin saat Kang To kembali mencoba menelepon sang adik.
Klasin langsung berdiri. Dia melangkah keluar dari kediaman Kang To dan menghampiri Sindu yang masih setia duduk di lantai teras.
"Uwes, Mas?" tanya pemuda bertubuh sedikit berisi yang menggenggam satu botol air mineral.
"Anter aku, Ndu. Percuma di sini. Bukannya dapat penengah, malah cuma bisa pasrah." Klasin meracau dengan kata sindiran yang sengaja dia tujukan untuk Kang To.
Klasin menunjukkan jalan menuju rumah Karman yang sebetulnya masih satu jalur dengan rumah penginggalan Mbok Suti. Sesampai di halaman rumah Karman yang cukup besar, Klasin langsung turun dan memasuki beranda.
Mendengar ada deru suara motor berhenti tepat di depan rumahnya, seorang wanita bertubuh berisi tampak keluar dari bangunan samping yang berbentuk L. Wanita itu tampak semringah menyambut adik iparnya.