Seringnya, manusia hidup senantiasa mendahulukan nafsu dan mengesampingkan ikatan yang seharusnya dijaga.
Itulah kalimat yang pantas diucapkan pada kakak-kakak Klasin. Perseteruan perihal harta warisan Mbok Suti lantas membuat Klasin menutup akses komunikasi untuk sementara waktu. Tantangan yang dia berikan pada Karman ternyata membuat nyali Karman surut. Dia tidak berani mengambil apa yang sudah disodorkan oleh sang adik. Bahkan, sampai Klasin memutuskan kembali ke Pekanbaru pun, semua masih menggantung. Namun, Klasin berharap, kakak keduanya itu tidak lagi berani bertindak sesuka hati lagi.
Lina yang memahami bagaimana konflik antara suami dan iparnya itu memutuskan untuk tidak membahas hal itu lagi. Dia hanya diam dan menyoba memahami sang suami demi menjaga perasaannya.
Akan tetapi, setelah ketegangan mereda sekitar lima bulan, Klasin kembali mendapat kabar dari tetangga di kampungnya, Karman kembali menjual satu hektar lahan kosong yang ada di perbatasan sebuah PT di sebelah timur desa. Klasin lantas menelepon Karman dan bertanya untuk memastikan berita tersebut.
"Apa benar berita yang aku denger, Kang?" tanya Klasin to the point setelah mengucap salam tanpa jawaban.
"Iyo. Keponakanmu minta beli motor. Rumahku juga banyak yang harus diperbaiki. Nggak ada jalan lain, ya harus jual lahan itu," jawab Karman dengan suara santai.
"Astagfirullah, Kang. Kemarin sudah kukasih sertifikat, kamu nggak mau ambil. Kamu sok jaga harga diri di depan orang, sekarang malah kamu jual lagi lahan itu? Terus, satu hektar lagi itu gimana?" Klasin menaikkan nada suaranya karena marah.
"Ladang itu sisa sehektar jatah Binta, keponakanmu. Lahan yang ada sawitnya, itu jatah Febri," sahut Karman di seberang.
"Terus aja kayak gitu, Kang. Kamu tahu sendiri, kan, lahan satu hektar itu sudah diserahkan jadi milikku buat nambah kebun besar yang cuma satu hektar? Kalau kamu jual juga, berarti cuma satu hektar lahan itu aja bagianku? Serakah tenan kamu, Kang."
"Lahan itu aku sisakan buat masa depan anak-anakku, Sin!" seru Karman terpancing emosi.
"Apa kamu pikir anakku nggak butuh masa depan juga? Ingat, ya, Kang. Aku yakin Simbok nggak tenang di sana gara-gara kamu. Dan ingatlah, ada masanya nanti kamu tuai apa yang sudah kamu tanam sekarang. Semoga aja aku dikasih umur panjang biar bisa tahu karma apa yang kamu terima nanti." Usai berbicara, Klasin langsung mematikan sambungan telepon, lalu mengembuskan napas sedikit kasar.