Untuk waktu yang cukup lama, Lina terdiam di tempatnya. Niat awal ingin menyalin sambal yang ada di kuali pun tertunda akibat rasa tidak percaya atas apa yang baru saja dia alami.
Sosok yang membantunya itu seolah nyata. Berwujud Simbok yang saat masih segar bugar dan sehat dulu selalu memusuhi dirinya karena dia bukanlah menantu pilihan. Bukan menantu idaman seperti gadis yang ingin dia jodohkan dengan putra bungsunya itu.
Lina memejamkan mata. Menikmati rasa hangat dan nyaman yang mendadak dia rasakan, mengalir lembut dari bahu dan punggung yang tadi tersentuh.
"Terima kasih, Mbok," ucap Lina. Suaranya lirih disertai senyum bahagia.
Masih lekat dalam ingatan Lina, bagaimana sikap dan perlakuan wanita sepuh itu sebelum akhirnya sakit menguji dan akhirmya ajal pun menjemput. Simbok tidak pernah melewatkan waktu untuk mencecar dirinya dengan kalimat pedas dan tatapan permusuhan. Bahkan, saat sakit pun, suara-suara menyakitkan itu masih meluncur tanpa filter dari bibir tipis yang sekelilingnya sudah dihiasi keriput.
Akan tetapi, baktinya sebagai istri tetap dia jalankan untuk terus membersamai Klasin dalam mengurus Simbok yang sudah sakit parah. Serangan stroke dan diabetes basah membuat wanita berusia nyaris seratus tahun itu hanya mampu berbaring di ranjang dengan kasur kapuk.
Hari-hari seorang Lina yang terbiasa tinggal di Ibukota Provinsi dengan segala hiruk-pikuknya, harus rela ditinggalkan demi menemani sang suami merawat Simbok yang hanya tinggal seorang diri. Sementara Mbah Rimo pergi entah ke mana setelah tergoda wanita idaman lain di usianya yang tidak lagi muda. Meninggalkan Simbok yang memang usianya lebih tua lima belas tahun dari Mbah Rimo.
"Oalah, ternyata masih ada di sini perempuan yang bikin anakku ninggalin mboknya," ujar Simbok dengan bahasa jawa medok saat Lina memasuki kamarnya, berniat menyapu lantai dan mengambil piring beserta gelas kotor bekas wadah makanan Simbok saat malam.
Lina menarik napas berat. Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya dan nyaris meluncur turun. Namun, sekuat hati dia menahan agar Simbok tidak melihat tangisnya. Tanpa berbicara, Lina meraih plastik berisi sampah popok, lalu mengikat dengan kuat. Meletakkan plastik tersebut di ember tempat pakaian kotor Simbok. Kemudian melangkah keluar kamar setelah memastikan di sekitar Simbok tidak terdapat semut dan kotoran lain.
"Menang anak nggak punya aturan. Nggak sopan sama mertua sendiri." Suara Simbok yang selalu melengking tinggi saat berbicara masih bisa didengar oleh telinga Lina yang sudah berada di sumur.
"Ngapa lagi Simbok, Dek?" Klasin menghampiri istrinya, lalu mulai menimba air sumur karena tampak olehnya, wanita pujaannya itu memilah pakaian untuk direndam detergent.
"Kayak yang nggak paham aja kamu, Mas. Udah kebiasaan Simbok tiap aku masuk kamarnya sendirian, dia pasti ngomong yang enggak-enggak," sahut Lina dengan suara serak. Air mata yang sedari tadi dia tahan, meluncur begitu saja di pipinya yang mulai tirus.
"Jangan diambil hati, Dek. Yang penting sekarang kita tetap ngerawat dia. Nanti pasti dia sadar siapa anak sama menantunya yang betul-betul tulus sama dia. Sabar, ya." Klasin menghentikan gerakannya menimba air, diusapnya rambut yang hanya diikat asal.