Warisan Simbok

cyintia caroline
Chapter #11

Bab 11. Pulang Kampung

Adakah yang memahami hukum tabur tuai jika belum mengalami? Seharusnya memang paham walau kita bukan orang tersebut. Bukankah sudah digariskan, setiap ada yang ditabur, pasti akan ada yang dituai? Benih apa yang ditabur, buah dari benih itu jugalah yang akan dituai atau dipetik.

Sebagai adik, Klasin tidak pernah sedikitpun berniat untuk memutus silahturahmi atau bahkan, memutuskan untuk tidak lagi memiliki saudara. Baginya, saudara tetaplah saudara. Apalagi saudara kandung yang jelas-jelas dilahirkan dari rahim yang sama. 

Mendengar kakak iparnya jatuh sakit, pria berusia di akhir dua puluhan itu pun berinisiatif untuk pulang ke kampung. Selain untuk mengambil hasil kebun sawit yang tersisa walau hanya seluas satu hektar. Setidaknya setelah beberapa bulan tidak diambil, uang tersebut sudah terkumpul lumayan besar nilainya. 

"Mas yakin mau pulang? Aku ragu, Mas. Rasanya bukan kabar baik yang bakal Mas dapat," ucap Lina saat dirinya tengah memasukkan dua pasang baju ganti untuk sang suami.

"Nggak boleh suuzon, Dek. Mana tahu setelah sekian lama, Kang udah berubah. Bismillah aja, ya. Lagin tujuanku ke sana nggak cuma mau jenguk Mbak Nik aja. Kemarin Mas Mat nelepon, katanya aku diminta cepet ambil uang kebun," sahut Klasin tanpa mengalihkan pandangan dari televisi berukuran 21' yang ada di kamar.

"Mas, kamu kenapa mikirnya positif mulu, sih? Aku bukan suuzon, ya. Aku cuma nyampaikan apa yang melintas di kepalaku. Lagian, nih, Mas. Beneran aku rasanya nggak suka Mas pulang. Minta ajalah Mas Mat itu kirim uangnya. Nggak bisa gitu, Dek. Ada hal yang mau kami bahas juga soal pupuk dan perawatan. Kan, kamu sendiri tahu kalau bulan depan waktunya nabur pupuk lagi." 

Lina hanya mengembuskan napas menanggapi ucapan suami. Walau dalam hatinya merasa sangat berat dan tidak nyaman, apa mau dikata, keputusan suaminya mutlak dan setiap ucapannya itu benar.

"Jangan ngambek. Restui aja aku berangkat. In Syaa Allah semua baik-baik aja." Klasin mengusap kepala istrinya dengan gerakan lembut.

"Ya, sudah. Pergi aja besok. Tapi, janji bawa kedondong kalau ada. Rasaku ada, kan kedondong di deket kamar kita itu buahnya nggak pernah abis," ujar Lina akhirnya.

"Tenang aja. Nanti pas sampai rumah, pasti langsung kuajak Sugi panen. Semoga aja sawo-nya juga banyak buahnya."

Lina tertawa renyah mendengar omongan Klasin. Bagaimana tidak, di pekarangan rumah warisan Simbok memang banyak terdapat pohon buah yang selalu berbuah lebat. Apalagi sawo dan kedondongnya memang jenis yang jumbo. Belum lagi jambu, mangga dan juga buah rambai atau orang biasa menyebutnya dengan buah menteng atau kepundung. Ada juga pohon jambu air dan manggis. Bagaimana mungkin pria itu akan memanen semua dan membawanya dengan motor. 

"Sudah malam. Kalau belum selesai nyusunnya, lanjutin besok aja." Klasin menggeser ransel yang masih berada di atas kasur.

Lihat selengkapnya