Melihat karung berisi potongan daging ayam yang dituang di lantai semen dekat sumur membuat Lina terdiam di tempatnya. Wajah Kang Karman yang tidak bersahabat dan melirik sinis padanya semakin membuat Lina membeku.
'Apa aku salah? Niatku cuma nggak ingin berlebihan sampai berutang, tetapi kenapa keluarga ini jadi bersikap kayak gini?' tanya Lina dalam hati.
Saat Lina dengan segala pemikirnnya terdiam, datang istri Kang Sumar mendekati dan berkata agar Lina bersikap tenang.
"Jangan diambil hati. Biar aja dia mau gimana-gimana. Kami semua tahu biat baikmu, Lin. Dia dari dulu emang kayak gitu sifatnya. Sudah, ayo kita terusin masak."
Lina kembali duduk di dekat pintu samping kamarnya sambil memotong sayur buncis dan wortel yang nantinya akan ditumis bersama hati dan ampela ayam. Kasur yang biasa dipakai sang putra sudah dia gulung sehingga ruangan tersebut jadi lebih lapang.
Ketika tengah fokus itulah telinganya menangkap suara-suara sumbang dari teras rumah yang bersebelahan dengan jendela kamar tempatnya duduk.
"Lah iya, aku heran sama Mas Klasin sama Mbak Lina juga. Simbah meninggal, dia nggak ada dikit pun nangis. Malah santai aja kayak hari biasa," ucap seorang tetangga yang tidak terlalu dekat dengan Lina.
"Halah, De. Dia mana ada rasa kehilangan. Paling seneng kalau Simbok udah nggak ada. Kan, lebih cepet bisa nerima warisan jatah dia." Kali ini suara Mbak Nik yang menyahut.
"Heran aku, Nik. Lina juga kayaknya bahagia Simbok meninggal. Selama ini juga kayak nggak ikhlas ngurus Simbok. Dimarah sama Simbok dikit aja udah ngadu sama kangmu Sarto. Membosankan." Suara Mbak Jiati, istri Kang Sarto menambahi dengan kalimat menyudutkan.
"Maksudnya gimana? Kan, emang sebelum Simbah ninggal, warisan udah dibagi to? Simbah sendiri cerita sama aku kalau Mas Klasin udah dapat bagian sendiri. Sama kayak Mas Karman juga Mas Sarto," sahut si tetangga.
"Oalah, De, selama ini, kan jatah Klasin masih dipakai Simbok. Selama ini Simbok hidup ya dari ladang punya Klasin. Dia nggak dapat apa-apa selama Simbok masih ada. Makanya dia seneng pas udah kayak gini." Mbak Nik menyahut lagi dengan suara sinis.
Dada Lina bergemuruh mendengar semua omongan dari balik jendela. Dia sudah bersiap akan berdiri dan melabrak mereka yang tadi menggunjing dia san suami. Namun, cekalan di tangannya menghentikan niat yang sudah terkumpul. Wajah Lina sudah diwarnai emosi.