Acara kenduri tujuh hari meninggalnya Mbok Suti berjalan lancar, walau ada aura ketegangan dari Klasin dan Karman. Tetangga yang paham keadaan mereka mencoba mengalihkan perhatian Klasin dengan bertanya rencana pria itu selanjutnya. Karena acara sudah selesai dan hanya tersisa beberapa tetangga dekat beserta kerabat, mereka berbincang santai.
Di kamar depan, ruangan yang masih digunakan untuk menaruh makanan, istri Karman dan Sarto tengah sibuk bersama dua orang lain. Mereka membungkus semua makanan serta lauk yang masih tersisa banyak.
"Mbak Jiati, ini sisihkan sini lauk sama sayurnya buat Mbak Lina sama Ferdi," ucap seorang ibu. Tangannya mengulurkan empat buah baskok yang ditumpuk jadi satu.
"Nggak usah disisain, De. Lauknya bagikan aja semua. Sisain aja tumis buncis sama wortel. Itu udah cukup." Lina langsung menghentikan tetangganya yang berniat mengambil lauk dan memindahkan ke baskom.
"Lho, banyak ini, Mbak. Mubazir kalau kebuang," jawab si ibu dengan tatapan bingung.
"Sudah, Bude. Nggak papa. Bagikan aja. Mbak Nik sama Mbak Ji juga bawa." Lina beranjak duduk di luar kamar bersama Ferdi dan suaminya yang masih berbincang bersama tetangga.
"Sekarang rencananya apa, Mas Klasin? Mau ngelamar kerja di pabrik apa gimana? Mbah Suti juga sudah nggak ada. Apa mau ngurus ladang aja?" tanya seorang bapak yang biasa dipanggil Pakde Warso.
"Belum tahu, Pakde. Nanti dibicarain lagi bareng istri. Oh, iya, mumpung di sini masih ada Pakde dan yang lain, saya mau bahas hal penting. Apa Pakde sama semua bersedia jadi saksi apa yang nanti saya omongin?" sahut Klasin.
"Monggo, Mas. Mau bicara apa," balas Pakde Warso. Pria sepuh itu tampak bijaksana saat berbicara.
"Begini, Pakde dan semua. Terutama buat Kang Karman sama Kang Sarto, di rumah ini, ada barang-barang punya Simbok. Kalau rumah, memang sudah sah jadi milikku sejak awal karena Kang Karman sama Kang Sarto sudah dapat bagian masing-masing.