Lina begitu terpukul mendapati kenyataan perutnya kembali datar. Kempes seolah tidak pernah ada calon bayi di dalamnya. Wanita itu termangu dengan tatapan kosong di ranjang kamarnya. Klasin sudah memakaikan pakaian sang istri, lalu menelepon mertuanya agar datang dan membantunya menjaga Lina yang sangat syok.
Ibunya Lina menyentuh punggung tangan anak pertamanya itu, tampak gerakan pelan dari dua bola mata yang sayu. Sedetik menoleh pada ibu yang sudah berada di dekatnya, lalu kembali diam. Tenggelam dalam dunia baru yang seolah memintanya untuk datang.
Suara isakan pilu mendadak terdengar lagi dari ibu tiga anak laki-laki tersebut.
"Buk, anakku hilang, Buk. Anakku dicuri!" jerit tangis yang awalnya berupa isakan kini berubah dengan suara pilu.
Klasin yang juga terpukul, dia hanya mampu berdiri di tiang pintu sambil menatap wajah layu Lina yang masih tenggelam dengan kesedihannya.
"Kira-kira, siapa yang berani nekat pakai ilmu hitam buat nyerang Lina," gumam ayah mertua Klasin.
"Saya pasti bakal selidiki, Yah."
"Kamu benar, Klas. Ayah juga nggak terima semuanya ini terjadi. Ini bukan cuma anak Ayah, tapi juga cucu Ayah yang dia serang." Ayah mertua Klasin tampak sangat berang dengan apa yang menimpa putri sulungnya.
Klasin mengepal tangan hingga buku-buku jarinya memutih dan uratnya tampak. Demi hidup dan kebahagiaan istri yang telah terenggut, dia akan melakukan apa saja. Walaupun harus bertaruh nyawa.
Klasin tidak sanggup melihat kesedihan yang menggantung kelam di wajah Lina. Betapa wanita tercintanya itu telah belasan tahun menunggu hadirnya bayi perempuan dalam pelukan. Namun, semua harus dilepaskan sesaat setelah rasa bahagia itu hadir.
***
Sudah sepekan berlalu. Lina masih terpuruk dalam dunianya yang kino kosong. Tidak ada lagi canda tawa darinya yang biasa mewarnai hari-hari Klasin. Lina hanya diam dan menatap orang dengan sorot mata yang tidak mampu dibaca oleh siapa pun. Makan pun dia terima saat Klasin terus memaksanya dan itu habya beberapa suap. Setelah itu kembali diam.