Benar saja. Tepat di malam ke empat puluh hilangnya janin dari perut Lina, malam itu Klasin bermimpi di datangi seorang gadis kecil mengenakan sebuah gaun indah berwarna kuning lembut. Rambut panjangnya hitam dan ikal bergelombang. Wajahnya sangat mirip dengan Lina. Hanya saja, mata bocah kecil itu tampak lebih bulat dan indah dihiasi bulu mata yang lentik dan tebal.
Berlari kecil bocah perempuan itu mendekati Klasin sambil berteriak memanggil.
"Ayah! Ayah, lihat aku. Tante yang di sana itu baik, Yah. Dia jagain aku pas sampai di istana. Tante itu juga yang kasih aku minum susu. Ayah, bilang ibuk, ya. Aku bahagia di sini sama Tante cantik. Nanti aku pasti nunggu Ayah sama Ibuk di depan pintu istana, kok. Dah, Ayah. Aku pergi, ya."
Gadis kecil itu berlari sambil melompat-lompat khas balita hingga gaun yang dia kenakan tampak bergerak-gerak indah. Rambutnya juga menari seirama gerakan tubuh mungil tersebut. Saat telah sampai di hamparan padang rumput hijau dengan aneka bunga indah yang tumbuh liar, gadis itu berbalik. Dia melambai tangan tanda perpisahan.
"Ayah, adikku nanti kasih nama Khumairah, ya. Dia pasti cantik!" serunya di tengah padang. Lalu, perlahan dia memasuki sebuah pintu penuh cahaya dan lenyap bersamaan dengan suasana sunyi sekitar.
"Astagfirullah!" Klasin terjaga dari lelapnya dengan napas yang sedikit memburu. Lekas dia turun dari ranjang. Meraih botol air yang ada di meja, lalu menenggaknya hingga nyaris setengah. Saat itulah sudut matanya melirik jam dinding yang jarumnya menunjuk angka tiga dini hari.
"Sudah waktunya tahajud. Bismillah." Klasin keluar kamar. Meraih handuk dan melakukan rencananya untuk mandi dan dilanjutkan dengan salat. Beberapa menit setelahnya, tampak pria bergelar ayah itu khusuk dengan doa-doanya pada Sang Khalik. Dia juga mengirimkan sebaris doa untuk janin perempuan yang kini telah kembali pada Sang Pencipta.
Tiba-tiba terngiang olehnya seruan si kecil di dalam mimpinya. Klasin termenung dan membatin, "Apa itu artinya kami akan mendapatkan penggantimu, Nak? Adikmu, apa benar dia seorang perempuan sepertimu?'
Helaan napas terdengar berat. Klasin yang saat itu sudah berada di kamar tengah menatap wajah polos istrinya yang tertidur lelap. Masih tampak gurat kesedihan dari sana. Masih ada rintihan kecil yang sesekali keluar dari bibirnya.
"Ya Allah, andai benar kami akan mendapat pengganti, berikanlah pada kami anak yang salihah, yang menjadi cahaya bagi keluarga ini. Segeralah angkat kesedihan dan rasa kehilangan pada hati wanita ini." Klasin mengelus lembut rambut panjang yang terderai di bantal.
"Mas, kenapa?" bisikan lembut terucap setelah pergerakan kecil dari tubuh ramping Lina berhenti, lalu diikuti terbukanya sepasang mata sayu itu.
"Kamu nggak bangun, Dek? Sudah mau Subuh. Kita salat bareng, yuk. Kita berdoa bareng buat anak-anak kita. Sudah lama juga kita nggak jemaah, kan?" jawab Klasin tanpa mengalihkan tangan dari kepala Lina.
"Heum, iya, aku salat. Tapi, apa nggak papa? Apa ini bukan sebagai masa nifas, Mas?" sahut Lina. Ada keraguan dari sorot mata teduh tersebut.