Setengah berlari Klasin yang baru turun dari motornya itu memasuki rumah. Pria itu memang beberapa menit sebelumnya pamit ke apotek pada istrinya untuk membeli tespack.
"Nih, Dek. Buruan dites. Semoga beneran positif, ya." Tangannya sudah mengulurkan plastik putih susu pada Lina.
"Mas, kalau mau tes itu pagi-pagi. Ini malah udah mau sore," protes Lina walau dalam hati dia tertawa melihat euforia sang suami.
"Heem, gitu. Ah, tapi nggak papa. Udah, ayo, kutemani tes ini. Kalau belum nampak hasilnya bisa coba lagi besok. Itu kubeli dua bungkus, kok."
Meski enggan karena lemas dan pusing, Lina tetap beringsut turun dari ranjang. Mereka berjalan berdua menuju kamar mandi. Sesampai di kamar mandi, Lina segera masuk ke ruangan berukuran satu setengah meter persegi tersebut dan membawa satu bungkus tespack.
"Udah belum, Dek?" seru Klasin dari luar pintu saat merasa istrinya itu sudah terlalu lama di dalam.
"Sabar, Mas. Kamu ini kayak apalah. Aku nggak kepingin pipis disuruh tes, ya sabar nunggu keluar," seru Lina menggerutu di balik pintu.
"Iya, deh. Maaf." Klasin pun dengan sabar duduk di kursi plastik dekat meja kompor untuk menunggu.
Akhirnya, wanita yang wajahnya sangat pucat itu menyembulkan kepala dari balik pintu kamar mandi dan menatap wajah suaminya. Namun, raut wajah Lina tidak tertebak. Hal itu membuat Klasin semakin penasaran.
"Gimana, Dek?" cetus pria itu sembari berjalan menghampiri sang istri.
"Entahlah, Mas coba lihat aja sendiri, ya."
Di tangan Lina ada sebuah strip putih kecil yang kemudian diulurkan pada sang suami. Sambil melangkah keluar kamar mandi, Lina membiarkan Klasin memeriksa hasil tes.
"Dek! Dek! Ini hasilnya bener? Ini beneran positif, kan? Kalau garisnya dua itu jadi, kan?" Klasin berseru tidak percaya. Dikejarnya Lina yang kembali berbaring sesampai di kamar.
"Dek, kamu ini diajak bicara malah ngeloyor aja. Ini beneran hasilnya?" tanya Klasin lagi karena berondongan pertanyaan darinya diabaikan oleh Lina.