"Dek, kamu sudah dapat nama buat anak kita? Kalau aku boleh nambahi, tolong nanti ditambah Khumairah, ya." Klasin berkata pada Lina yang masih terus menimang bayi mungil di dalam pelukannya.
"Hem, sebetulnya udah ada, Mas. Tapi, kalau mau ditambah Khumairah juga masih masuk, kok. Gimana kalau namanya Rheana Khumairah?" sahut Lina sambil meletakkan bayinya ke bantal.
"Itu juga bagus. Ya, udah, itu aja namanya. Aku juga suka."
Begitulah. Dua kata untuk nama si kecil mungil dan imut yang mengambil alih semua cinta orang tua serta ketiga kakak laki-lakinya.
Hari berganti minggu, lalu bulan pun berganti tahun. Satu tahun sudah usia Baby Embul, begitulah panggilan sayang seluruh penghuni rumah padanya. Setiap satu kemajuan dari pertumbuannya tidak lagi lepas dari perhatian kedua orang tuanya.
Masih sama seperti sebelumnya, sudah dua kali lebaran Kang Sarto menelepon dan meminta agar Klasin datang berkunjung ke desa. Namun, pria itu kembali menolak.
Akan tetapi, kali ini alasannya tidak lagi dibumbui kebohongan. Klasin jujur perihal keberadaan si kecil dalam keluarganya.
"Kenapa nggak cerita kalau istrimu hamil? Ini baru cerita pas anaknya udah besar. Kamu anggap kami ini apa, Le?" Klasin meringis saat omelan kakak tertuanya singgah di pendengaran dengan nada sedikit tinggi.
"Yo, keluarga, Kang. Tapi, aku sama Lina nggak kepingin nyusahin. Makanya kami diem-diem aja." Apa yang dikemukakan oleh sang adik membuat Sarto terdiam beberapa saat. Terdengar helaan napas berat di seberang panggilan.
"Kamu masih marah masalah kakangmu, Le?" desah Sarto, nadanya ragu.
"Enggak, Kang. Buatku yang sudah selesai, ya sudah. Nggak perlu diungkit. Masalahnya, apa dia bisa anggap semua selesai? Kalau memang dia nggak salah dan nggak seperti apa yang kubilang, harusnya dia legowo. Bukan malah melakukan hal-hal yang bertentangan sama ajaran. Dosa, Kang. Kenapa harus ngerjain hal yang bukan cuma salah, tapi menjurus ke dosa besar?" Kali ini, pria yang memiliki empat anak itu meluahkan kekecewaannya.
"Sebentar, Le. Maksudnya apa, ya? Demi Allah aku nggak ngerti ini. Ada masalah apa sebenernya?" sela Sarto. Dari nada suaranya, Klasin baru sadar jika kakak tertuanya itu benar-benar tidak tahu.
Klasin menarik napas berat, lalu mengembuskannya perlahan. Setelah merasa yakin untuk menceritakan yang sebenarnya, barulah dia bersuara kembali.