Hari sudah beranjak senja saat kendaraan roda dua jenis bebek empat tak itu memasuki jalanan desa. Pohon-pohon sawit sebagian besar telah dibabat guna dilakukan peremajaan. Semburat sinar jingga kemerahaan di barat desa menyambut kedatangan sepasang suami istri itu.
Klasin mengurangi laju kendaraannya saat mereka sampai di ujung desa dan melewati lahan seluas satu hektar berisi pohon sawit. Meski masih tampak bersih terawat, batang-batang pohon menjulang tinggi itu tidak lagi tampak subur. Selain karena termakan usia yang tidak lagi muda, perawatan yang kurang membawa pengaruh pada tandan buah segar yang masih tersisa.
Lina turun dari motor dan menyeberangi jembatan kayu kecil untuk memasuki lahan. Kebun yang dulu sempat menjadi tempatnya berpeluh demi membantu suami itu mendatangkan rindu yang menyesak.
"Andai kita ada di sini, Mas, mungkin sawit-sawit ini masih menghasilkan buah dengan baik," desah Lina sambil mendongak.
"Mau gimana lagi, Dek. Andai kita tetap di sini, belum tentu hidup kita lebih baik. Mungkin mereka lebih mudah menghancurkan kita," sahut Klasin dan mengikuti apa yang dilihat sang istri, jajaran janjang buah yang hanya tersisa beberapa saja di tiap batangnya.
"Andai warisan Simbok nggak jadi bahan rebutan dan perpecahan," gumam Lina lagi seraya membetulkan posisi kain jarik gendongan, di mana putri kecilnya masih nyaman terlelap di dalamnya.
"Jangan berandai-andai. Semua sudah ada jalannya. Semua sudah digariskan bakal kejadian kayak gini di hidupku, Dek. Ikhlaskan saja semuanya. Sudah, sebentar lagi Magrib. Kita harus cepat sampai rumah Kang Sarto." Klasin memutuskan pemikiran istri yang mulai melanglang buana pada hal yang tidak seharusnya.
Mereka kembali meneruskan perjalanan yang masih membutuhkan waktu sekitar lima beas menit lagi untuk sampai ke kediaman Kang Sarto. Tepat kala azan Magrib dikumandangkan oleh Muazin di masjid desa, Klasin tepat memarkirkan motor di halaman rumah sang kakak.
"Astagfirullah, jam berapa kalian berangkat tadi? Kenapa jam segini baru sampai?" sambut Kang Sarto dan Mbak Jiati, tergopoh mereka menyambut kedatangan sang adik.
"Sengaja, Mbak. Nunggu anak-anak pulang sekolah baru berangkat. Tadi juga jalan pelan-pelan. Kasihan si kecil kalau dibawa ngebut," jawab Klasin mendahului istrinya yang masih melonggarkan gendongan.
"Lah, kalian cuma bertiga? Anak-anak nggak ikut?" ujar Kang Sarto menanyakan keberadaan tiga keponakannya yang lain.