Mendekati waktu Isya, Klasin mengantar istri dan putri kecilnya ke kediaman keponakan dari Kang Sumar, Ira. Sejujurnya, Klasin juga merasa penat di tubuh karena perjalanan jauh yang ditempuh hanya dengan motor. Dia juga ingin berbaring sejenak sebelum nanti kembali ke lokasi acara.
Sampai di beranda kediaman Ira, pasangan suami istri itu sudah ditunggu oleh keluarga Kang Sumar. Wajah Mbak Gi tampak semringah setelah mengetahui keponakan kecilnya turut serta.
"Lho, akhirnya sampai rumah Bude juga kamu, Nduk. Sini gendong Bude, ya. Ibumu biar istirahat dulu." Wanita yang usianya tidak berbeda jauh dengan Klasin itu langsung mengulurkan dua tangan dan mengambil alih Khumairah dari gendongan Lina.
"Jam berapa sampai tadi, Lek?" tanya Budi, suami Ira yang baru saja keluar dari ruangan dalam.
"Sebelum Magrib tadi, Bud. Gimana kabar kalian? Pulang habis ke kampung nggak pamit. Durhaka kalian." Gerundelan Klasin disambut tanya renyah suami istri muda yang baru memiliki satu balita laki-laki tersebut.
"Namanya juga pindah dadakan, Lek. Jadi tidur sini?" sahut Ira, lalu mengajak mereka semua masuk rumah.
"Jadilah, Ra. Di sana nggak ada tempat nyaman buat tidur. Semua kamar keisi. Kalau di suruh ke rumah sonoh, aku ya nggak maulah." Jawaban Lina mendapat kekehan kecil dari Kang Sumar.
"Lha ya, kalian itu punya anak lagi, kenapa nggak ada ngabari coba?" cecar Mbak Gi sambil menimang Khumairah yang tampak nyaman di pangkuan budenya.
"Lho, Ira ja tahu kalau aku hamil, Kang. Pas awal ngidam aja, dia sering datang buat ngantar buah, kadang kue," ujar Lina seraya mendelik ke keponakan yang menyeringai tanpa dosa.
"Hehehe, nggak kepikir buat cerita, Mak." Ira menjawab sambil menunjukkan dua jarinya tanpa damai.
"Kami sempet dengar waktu kalian kehilangan dulu itu. Eh, nggak tahunya malah udah dapat ganti montok kayak gini. Kamu besok jadi anak saliha, ya, Nduk. Jadi anak pinter."
***
Hari semakin beranjak malam. Klasin yang tidak jadi kembali ke kediaman Kang Sarto, lantas memilih duduk di kursi teras rumah Kang Sumar. Bertepatan dengan posisi kursi yang menghadap rumah peninggalan Simbok yang kini sudah bukan lagi miliknya.