"Mbak, apa bener Mas udah dijodohin sama Simbok?" tanya Lina kala dia mengikuti langkah Mbak Mi menuju rumahnya yang hanya berjarak dua rumah dari kediaman Mbok Suti.
"Ya, gitulah, Mbak. Udah lama Mbokde Suti kepingin Mas Klasin nikah sama Soraya. Itu, anaknya Pakde Rahmat. Tapi, Mas Klasin malah pergi ke kota. Katanya mau lanjutin sekolah sambil kerja. Paling Mbokde ngira kalau Mas Klasin itu mau dijodohin. Opo sampeyan mau mundur gitu? Saranku, Mbak. Jangan nyerah. Mas Klasin aja kelihatan kalau sayangnya itu beneran ke Mbak Lina.
Dari dulu, dia nggak pernah bawa pulang anak perempuan. Baru Mbak Lina ini yang berani dia bawa pulang. Dia akui sebagai calon istri ke Mbokde Suti. Weslah, pokoknya jangan mundur."
Mendapat dukungan dari banyak orang, hati Lina sedikit lega. Setidaknya, andai ada keadaan darurat, dia tidak sendiri di desa yang letaknya di antah berantah dan tidak mungkin dirinya berani kembali ke Kota Pekanbaru sendirian.
"Pak e Sugi, reneo. Ini calone Mas Klasin ke sini!" teriak Mbak Mi pada seorang pria seusia pamannya Lina yang tengah mengasah kapak. Sepertinya, pria itu akan membelah kayu bakar karena di sekitarnya bertebaran kayu yang sudah dibelah menjadi ukuran kecil.
"Weladhalah. Ada tamu jauh ternyata. Kenalkan, Mbak. Aku Mijo, suaminya Miyem. Apa mau lama di sini? Kalau lama di kampung sini, biar diajak Mas Klasin ke ladangku di timur desa. Kami mau panen padi di hutan sana."
Ramah. Itulah yang ditangkap oleh hati dan pikiran Lina saat banyak warga desa yang menyapa dan mengurai senyum di wajah-wajah mereka yang terbakar mentari.
"Belum tahu, Mas. Saya gitu manut sama Mas Klasin. Tapi, mungkin Minggu pagi kami balik ke kota. Soalnya Mas harus kerja," sahut Lina seraya mencari tempat untuknya duduk di dekat tumpukan kayu bakar yang masih berupa gelondongan berukuran satu meteran.
"Lho, jangan duduk di sini. Itu, masuk aja ke rumah sama mbakmu. Cari makan sana, tapi seadanya. Hidup di kampung gini, jarang bisa makan enak, Mbak Lina. Sudah, sana masuk aja. Itu tadi mbakmu masak jangan tempe bosok sam masih ada pecel. Terserah mau pilih yang mana." Mas Mijo terus saja meminta Lina untuk masuk ke rumah melalui pintu dapur yang terbuka lebar.
"Hemm, ya sudah kalau gitu. Saya masuk dulu, Mas," cetus Lina karena merasa tidak enak terus didesak.
"Iyo, wes kono. Langsung cari sendiri aja kalau kepingin makan. Anggap rumah sendiri."
Lina tersenyum. Dia melangkah menuju pintu kayu lebar dan menyusul Mbak Miyem yang sedang menyeduh bumbu pecel dan meniriskan sayuran hijau yang baru saja dia angkat dari panci.