Esok paginya, Lina datang ke kediaman Karman. Namun, dia dan sang suami tidak lantas turut serta mengantar kedua mempelai menuju ke kantor KUA. Mereka memilih melangsungkan akad nikah di KUA saja timbang di rumah dan disaksikan oleh para tetangga.
Siang itu, Lina mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Klasin sewaktu suaminya itu bekerja di Negeri Jiran. Baju model Anarkali berwarna merah dan gold serta jilbab pasmina berwarna senada tampak sangat anggun di tubuh ramping Lina. Berpasang mata menatap tanpa kedip pada wanita itu. Beberapa wanita juga terlihat saling berbisik.
"Mbak, reneo. Aku pak takon, kui klambimu apikmen, tukune nang endi?" tanya Sri yang sepertinya sengaja mendekati Lina hanya untuk bertanya perihal pakaian mewah yang dikenakan Lina. (Mbak, sini. Aku mau tanya, itu bajumu cantik banget, belinya di mana?)
"Dibelikan Mas waktu dia ke negaranya Upin-Ipin. Kenapa, Sri?" sahut Lina, bertanya sekaligus menjelaskan.
"Ooh, lah pantes cantik puol. Pasti mahal yo, Mbak?" sahut Sri lagi. Kali ini dia mendekat dan menyentuh kain baju Lina.
"Biasa ajalah, Sri. Orang-orang sini lebih wah dan cantik." Lina menimpali dengan senyum tak leps dari bibir yang dipoles lipstik warna merah bata, tetapi tidak tebal.
"Mbak, iki tenan apik pool. Nang kene ora tau tumon klambi model ngene. Lha jebule tukune nang Malaysia." (Mbak, ini beneran cantik banget. Di sino nggak pernah lihat baju model begini. Ternyata belinya di Malaysia.)
Jam menunjukkan angka sebelas siang, kedua mempelai pun sudah selesai berganti pakaian dari kebaya putih dan kain jarik motif parang, berganti dengan pakaian adat Jawa berwarna hitam lengkap dengan hijab dan riasan. Mendadak Lina tertarik untuk menyapa ibu-ibu yang membantu masak di dapur bersih dan dapur kotor.
Lina dengan langkah santai memasuki rumah, langsung menuju ke dapur bersih. Kebetulan juga putrinya menunjuk meja berisi piring dan wadah kue yang akan disajikan untuk tamu.
"Ambilin aja, Mbak Lina. Nanti kalau kosong piringnya ya diisi yang baru. Sudah, sini maem kue, Nduk. Sini, duduk sama Simbah." Wanita paruh baya yang bertugas menjaga meja tersebut, lantas memberi ruang pada Lina agar bisa duduk dengan nyaman.
Baru saja Lina mengempaskan tubuh ke kursi plastik, dia merasa ada sesuatu yang tengah memperhatikan dirinya. Namun, saat dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru, ternyata tidak satu pun dari para juru masak tersebut yang tengah memerhatikan dia.