Klasin terdiam. Dia menoleh lagi pada Pakde Gono yang tetap fokus pada kaki Lina.
"Iya, Pakde. Terima kasih, sudah mengingatkan. In Syaa Allah, nggak terjadi apa-apa," sahut Klasin. Dia pun kembali menaiki motornya dan berlalu meninggalkan istri setelah motor itu mesinnya nyala.
"Kowe ki yo ancen ndableg, Nduk. Ngerti model ngono kui ora keno dijajal, malah kowe selot nekat. Iyo, to? Ora usah ditutupi nek karo aku. Prewangan ngono kui, ora dadak ndelok sopo seng bener sopo seng salah. Sak suwene dee dipakani, salaho to, jragane bakal tetep dibelani. Opo meneh kowe dijogo karo mbahne kui. Pasti dee ngiro nek jragani bakal dilarani," ujar Pakde Gono panjang lebar. (Kamu ini ya, emang bebal, Nak. Sudah tahu model yang gitu itu, nggak bisa dicoba-coba, malah kamu makin nekat. Iya, kan? Nggak usah disembunyikan lagi kalau sama aku. Makhluk pembantu kayak itu, tidak pakai lihat siapa yang bener dan siapa yang salah. Selama dia dapat makan, meskipun salah, majikannya tetap dibela. Apalagi kamu dijaga sama eyangnya itu. Pasti dia ngira kalau majikannya bakal disakiti.)
"Kulo mboten nyobi ngelarani sinten-sinten, Pakde. Wong dee mawon seng mboten genah," sahut Lina yang masih meringis setiap kali kakinya digerakkan oleh Pakde Gono. (Saya nggak mencoba nyakiti siapa-siapa, Pakde. Memang dianya saja yang nggak bener.)
"Wes, iki sikilmu wes tak benerne. Tapi, kowe ora iso langsung mlaku kesit koyo wingi. Paling ora, sak wulan awakmu bakal deglik-deglik mlakune. Ojok dipekso mlaku banter, ndak slewah maneh engsele. Iki, sesok pas wes tekan omahmu, pil boboke dijarang gawe banyu anget, terus dibobokne sampe nduwur. Sesok isuk, Pakde mrene maneh, mindoni sikilmu, yo. Saiki Pakde pamit balek." Pakde Gono pun berlalu. Lina tertatih memasuki rumah dan menuju kamar yang dia tempati. (Sudah, ini kakimu sudah kubetulkan engselnya. Tapi, kamu nggak bisa langsung berjalan lincah seperti kemarin. Paling tidak, satu bulan kamu bakal jalan pincang. Jangan dipaksa jalan kencang, nanti engselnya meleset lagi. Ini, besok sewaktu sudah sampai rumah, pil baluran ini diseduh pakai air hangat, terus dibalur sampai atas. Besok pagi, Pakde ke sini lagi buat meriksa kakimu, ya. Sekarang Pakde pamit pulang.)
Sebelum menaiki ranjang, Lina menyempatkan diri membuka tirai jendela. Tampak olehnya, Ki Maung sedang duduk dalam posisi siaga berjarak satu meter dari jendela kamar.
'Pergilah, Ki. Tolong awasi suamiku di sana. Aku nggak papa. Sebentar lagi juga Risna sama suaminya pulang,' batin Lina dan dia tujukan pada Ki Maung.
'Baiklah, Nduk. Hati-hati. Aku pamit.' Ki Maung langsung menghilang.
Lina segera menutup gorden jendela. Tidak lama kemudian, terdengar deru motor milik Risna. Selang beberapa menit kemudian, pintu kamarnya diketuk, suara Risna memanggil.
"Bulek, wes bobok?" (Tante, sudah tidur?)
"Urung, Nduk. Enek opo?" jawab Lina dan membuka pintu kamar. (Belum, Nak. Ada apa?)
"Piye sikile Bulek? Wes sido dicelokne Mbah Gono?" tanya Risna lagi. Dia masih berdiri di dekat pintu kamar bersama suaminya. (Gimana kaki Tante? Sudah jadi dipanggilkan Mbah Gono?)
"Uwes, Nduk. Wes rodo mendingan. Kono ndang mlebu kamar, wes bengi. Ora ilok meteng gede malah jek baru bali mblayang yah mene," sahut Lina. ( Sudah, Nak. Sudah agak mendingan. Sana cepat masuk kamar, sudah malam. Nggak baik hamil besar malah baru pulang dari luar jam segini.)