Tahun pertama kejatuhan perekonomian kelurga, terasa sangat berat bagi Lina. Walau wanita itu tidak pernah sekalipun mengeluhkan keadaan, bukan berarti dirinya tidak merasa hancur. Belum lagi dalam keadaan seperti itu, yang masih harus dia pikirkan adalah memperhatikan gizi dan kebutuhan anak-anaknya.
Tidak jarang, setiap kali dalam sujudnya, air mata membasahi sejadah merahnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Mengadukan semuanya pada Sang Khalik. Pada Dia yang memberi segala, selain doa tak henti untuk setiap usaha suaminya agar dilancarkan.
"Minum, Mas," seloroh Lina saat Klasin sudah duduk nyaman di dalam rumah, sepulang dari usahanya mencari pekerjaan.
"Heem. Anak-anak sudah makan tadi?" sahut Klasin, lalu meraih cangkir kopi hitam yang tadi diberikan oleh istrinya.
"Sudah, Mas. Lagian ini sudah malam juga. Mas kalau mau makan, masih ada nasi sama sayur. Tapi, cuma tumis kangkung, Mas. Uangnya cuma cukup buat beli cabai sama kangkung." Lina menunduk. Dia sadar, itu bukan salahnya, tetapi memang dia merasa belum maksimal memanfaatkan pemberian sang suami.
"Ya, udah, kalau cukupnya buat beli itu. Alhamdulillah, masih ada pasangan makan nasi. Tolong, ambilkan makannya, Dek. Aku juga sudah lapar." Klasin menjawab dengan ringannya.
Apa mau dikata? Memang hanya sebatas itu kemampuannya memberi nafkah pada keluarganya sementara ini. Itu saja sudah jauh lebih baik daripada beberapa waktu sebelumnya. Di mana, seringkali dia melihat sang istri mengalah dan hanya makan nasi putih dengan sisa kuah sayur. Sementara wanita itu sendiri membutuhkan asupan nutrisi.
"Sini, makan bareng, Dek."
Mereka pun menikmati nasi dengan sisa sayur tumis kangkung yang hanya tersisa sedikit. Lina bersyukur. Walau hidupnya jatuh, terpuruk dan tersungkur seperti itu, sedikitpun mereka tidak menyusahkan keluarga. Mereka bertahan tanpa mengeluh. Mereka juga selalu berpesan pada anak-anak mereka, agar tidak menceritakan keadaan mereka pada siapa pun. Termasuk keluarga besar Lina yang tinggal tidak jauh dari perumahan.
"Mas, saat kita kayak gini, kenapa teman-teman yang dulu Mas bantu, malah nggak ada yang datang, ya? Apa takut nggak kubuatkan kopi?" desah Lina setelah mereka selesai makan malam dan duduk berdua di kamar.
"Kita nggak tahu apa yang mereka pikirkan, Dek. Buktinya masih ada juga yang datang dan main ke sini, kan?" sahut Klasin santai.
"Yee, Mas. Yang datang mah justru bukan yang Mas sering bantu. Mereka, lho, malah yang jarang nongol. Yang dulu tiap sebentar datang minta tolong, malah sekarang nggak ada tuh, tanya kabar." Lina masih membantah dengan nada sengit.