Hakikatnya, jodoh, rezeki, dan maut sudah menjadi garis takdir dan bukan manusia yang menentukan. Namun, manusia masih bisa memilih bagaimana jalannya.
Itu jualah yang menjadi jalan hidup Klasin dan keluarga. Ilmu-ilmu kebaikan yang selama ini ditanamkan dalam kehidupan mereka, siapa sangka kebaikan tersebut kembali pada mereka dalam bentuk sesuatu yang tidak mereka duga sebelumnya.
Mereka terjatuh bukan hanya satu kali. Bukan hanya satu dua bulan. Namun, mereka jatuh dan mencoba kembali bangkit bukan hanya satu dua tahun.
Allah tidak tidur. Allah selalu memberi apa yang menjadi kebutuhan hamba-Nya. Begitu juga dengan keluarga yang telah sekian tahun diuji kesulitan yang cukup berat.
Hingga di suatu malam, saat langit diselimuti mendung, Klasin sedang duduk menyendiri di beranda, sementara istrinya sedang berada di kamar menidurkan Khumairah. Di kediaman mereka, kedatangan tiga orang tamu. Dua di antaranya, Klasin sudah mengenal mereka. Namun, seorang lagi, dia baru kali ini bertemu.
"Silakan duduk, Bang. Mau di dalam apa di teras sini aja?" sambut Klasin setelah membalas ucapan salam ketiganya.
"Sepertinya, di dalam rumah aja, Mas. Ada hal penting soalnya," jawab seorang yang bernama Hardi.
"Oh, gitu. Ya, sudah. Silakan masuk. Tapi, maaf, rumahnya sempit. Full juga sama alat-alat bengkel. Mari, Bang, Pak, silakan duduk. Sebentar, saya ke dalam dulu." Klasin mempersilakan tamunya duduk setelah menggelar tikar plastik, lalu dia memasuki kamar untuk meminta sang istri membuatkan minum.
***
Empat cangkir kopi telah dihidangkan oleh Lina beserta sepiring singkong goreng. Karena kebetulan, selepas Magrib tadi, Lina menggoreng singkong tersebut.
"Silakan, Pak, Bang, Wak." Lina mempersilakan ketiga tamu suaminya untuk menikmati hidangan sederhana tersebut. Dia pun kembali memasuki kamar.
"Mas, kedatangan kami ke sini tadi, pertama, nita silahturahmi. Secara, sudah lama aku nggak sowan. Yang ke dua, kami juga ada tujuan khusus," ujar Bang Hardi, pria yang tadi dipanggil dengan sebutan 'Wak' oleh Lina.
"Boleh tahu, apa itu, Bang? Kayaknya serius banget ini," seloroh Klasin.
"Mas, sebelumnya, kami terima kasih banget, selama ini sampeyan sudah banyak membantu keluarga besar kami. Demi apa pun, bantuan sampeyan itu nggak akan bisa kami balas, Mas. Apalagi waktu almarhumah mamak kami sakit. Bahkan sampai ngubur pun, sampeyan masih terus kasih pertolongan. Makasih, Mas." Bang Hardi berbicara dengan suara bergetar.
"Itu sudah biasa, Bang. Jangan dijadikan beban budi atau apalah. Aku ikhlas," balas Klasin.
"Mas, sampeyan tahu, kan, beberapa waktu terakhir, aku ada bekerja sama sama pemilik sebuah benda berharga? Alhamdulillah, Mas. Barang itu sudah berujud uang sekarang ini. Dan tujuan kami ke sini, ya, soal barang berharga itu." Bang Hardi kembali berbicara.